Tentang Perbandingan Ijtihad Jama’i dan Bahsul Masa’il

0
9180
Ustaz Nurul Fattah, Rois Syuriyah PCINU Lebanon

Oleh: Ustaz Nurul Fattah

A. Muqoddimah

Dalam tulisan ini, saya mencoba menela’ah, meresensi kitab “al Ijtihad al Jama’i” karangan guru saya Syaikh Basim Aitani, lalu mengomparasikan gagasan beliau di dalam kitabnya dengan manhaj bahsul masa’il yang ada di NU.

Beliau bermazdhab Hanafi, dulu belajar di Damaskus lebih dari 10 tahun. Sempat belajar antara lain kepada Syaikh Wahbah Zuhaily dan Syaikh Musthofa dib al Bugho, kemudian studi S2  dan S3 di Jami’ah Imam Auzai, Beirut.

Kitab Al Ijtihad Al Jama’i adalah salah satu karyanya, yang bermula dari disertasinya. Kitab ini berbicara tentang metodologi penetapan hukum-hukum fiqkih. Muallif terkesan berusaha membuat sebuah terobosan (gagasan baru) dalam pola berijtihad, di mana selama ini, diketahui bahwa ijtihad merupakan upaya seorang mujtahid untuk menetapkan hukum, dengan berbagai kriteria yang sangat ketat untuk menjadi mujtahid.

Namun kitab ini memiliki pola pandang (sentuhan) yang berbeda, karena berasumsi bahwa perkembangan zaman plus dinamika di dalamnya, menghendaki adanya pergeseran-perubahan-pembaharuan pola ijtihad dari perorangan menjadi kelompok, sekaligus juga diiringi dengan perubahan kriteria menjadi seorang mujtahid beserta manhaj ijtihadnya. Dari konsep yang ditawarkan kitab ini, maka sangat memungkinkan di zaman ini akan bermunculan para “mujtahid” baru.

Sementara di NU sampai saat ini, masih sangat hati-hati, terkesan menjauh dari kalimat “ijtihad/ mujtahid”, padahal Lembaga Bahsul Masa’il (LBM) telah ‘’beroperasi’’ puluhan tahun, tetapi para kiai (aktivis LBM) masih canggung dan enggan menyebut dirinya “mujtahid” dan LBM sebagai lembaga ijtihad/ fatwa.

B. Perbedaan-Perbandingan Ijtihad Jama’i dan Bahsul Masail

Jika diamati secara seksama, baik ijtihad jama’i dan Bahstul Masa’il, sebenarnya berangkat dari prinsip yang sama, yaitu penetapan hukum lewat jalur musyawarah yang diputuskan hukumnya setelah adanya kesepakatan dari seluruh anggota/ mayoritas anggota.

Perbedaan mencolok nampak dalam hal penamaan masing-masing lembaga dan corak manhaj yang diberlakukan. Di bawah ini akan penulis jelaskan mengenai perbedaan manhaj dari keduanya dalam proses penetapan hokum.

Dalam kitab ini menawarkan tiga manhaj ijtihad, yang di gunakan dalam pengambilan hukum, yaitu:

1. Ijtihad Jama’i Intiqo’i: upaya para Ulama mencari-menyeleksi-memilih qaul-qaul ulama’ dengan cara mentarjih qaul-qaul tersebut melalui pertimbangan terealisasinya maqasidus syari’ah yang dilakukan bersama dalam bingkai musyawarah.

Pentarjihan qaul  bisa dilakukan dengan beberapa metode, yakni: A). Mengambil mayoritas pendapat ulama’; B). Mengambil qaul mu’tamad di antara 4 mazhab setelah melakukan kajian ulang terhadap dalil yang dipakai dalam masalah tersebut; C). Mengambil qaul para fuqaha’  di luar 4 mazhab, seperti  Sahabat, Tabi’in, dan lainnya.

Pada intinya, proses pentarjihan terhadap qaul-qaul seperti di atas, bertumpu pada empat hal, yaitu memperbandingkan antarqaul, mengkaji ulang dalil-dalil yang dipakai untuk menetapkan qaul, memudahkan (tidak memberatkan) dan tercapainya maqasidus syari’ah (meraih maslahat & menolak mafsadah).

Contoh: bai’ urbun (uang panjer) dalam transaksi jual beli, mayoritas ulama’ (Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah) menghukumi batal, tetapi Imam Hanbali menghukumi boleh. Setelah dikaji ulang, Muktamar Fikih (1993) menyatakan kebolehannya. Ada beberapa pertimbangan tarjih untuk kasus ini, di antaranya hadisnya dianggap dlaif, mengambil amal (praktik) para  Sahabat dan Tabi’in, kebutuhan manusia, serta menolak mafsadah dari penjual.

2. Ijtihad Jama’i Insya’i: upaya penggalian dan penetapan hukum baru pada masalah-masalah yang belum dibahas ulama’ sebelumnya, yang dilakukan para ulama’ secara bersama, melalui jalan musyawarah.

Proses ini, mencakup dua hal, yaitu:

a. Penetapan hukum pada masalah baru yang tidak ada nas fikihnya.

Contoh: kasus tentang hukum ihrom di pesawat ketika melewati miqat, setelah menggali dan menguji dalil (hadis Nabi), maka muktamar yang dihadiri Syaikh Wahbah Zuhaily, Syaikh Kholil Mais, Syekh Mustofa Az Zarqo, Syaikh Thohir bin Astur dan lainnya, memutuskankan kebolehannya.

b. Memunculkan qaul baru (ketiga/ alternatif) pada masalah lama yang sebenarnya sudah ada hukumnya. Sebenarnya praktik ini masih diperselisihkan oleh para ulama’. Jumhur mengatakan tidak boleh memuncul qaul ketiga, setelah adanya kesepakatan ulama’ terdahulu bahwa kasus tersebut ada dua qaul.

Contoh: kasus zakatnya sawah yang disewakan, apakah dibebankan kepada pemilik tanah  atau penyewa. Imam Hanafi mengatakan, zakat wajib dikeluarkan oleh pemilik tanah dan jumhur mengatakan zakat dibebankan kepada penyewa tanah. Namun sebagian ulama’, dimotori oleh Syaikh Yusuf Qordowi justru memunculkan qaul ketiga dan mengatakan pembayaran zakat diwajibkan terhadap keduanya dengan cara dibagi rata.

3. Ijtihad Jama’i Bainal Intiqa’i dan Insya’i: gabungan dua manhaj di atas disertai penambahan unsur/ materi ijtihad baru.

Contoh: pensyaratan saksi dalam masalah jatuhnya talaq. Qaul ini merupakan qaulnya sekelompok ulama’. Adapun unsur baru dalam ijtihad ini, adalah kemungkinan menjadikannya sebagai saksi resmi dari instansi berwenang yang mengokohkan dan memastikan terjadinya kasus perceraian.

Ketiga manhaj itu diklaim oleh muallif, sebagai representasi dari metode istinbat yang selama ini dipraktikkan oleh lembaga-lembaga fatwa-muktamar fikih di Timur Tengah. Yang menarik, adalah kriteria mujtahid mengalamai perubahan, sehingga layak untuk melakukan ijtihad jama’i. Seperti menguasai usul fikih, maqhasidus syari’at, ilmu khilaf, kultur masyarakat dan lainnya.

Sedangkan manhaj yang dipakai oleh LBM NU menurut Muktamar Nasional (Munas) Lampung pada 1992, ada 3:

  1. Manhaj Qauli: keputusan hukum berdasarkan qaul ulama’ yang termaktub di dalam kitab-kitab fikih. Prosesnya, tak lepas dari kerangka bermazhab kepada salah satu 4 mazhab.
  2. Manhaj Ilhaqi: menyamakan kasus yang tidak ditemukan qaulnya di dalam kitab fikih dengan kasus yang tercantum di kitab fikih, karena adanya kesamaan, dikenal dengan prosedur ilhaqul masa’il bi nadhairiha, mirip dengan praktik qiyas dalam usul fikih.
  3. Manhaj Manhaji: menetapkan hukum menggunakan pendekatan usul fikih, sebagaimana langkah para mujtahid dalam menetapkan hukum. Manhaj ini secara detil telah dirumuskan dalam Munas Jombang pada 2015, seperti pertimbangan istihsan, maslahat mursalah, maqasidus syari’ah, dan lainnya.

Prosedur ini diberlakukan ketika dua prosedur di atas tidak bisa ditempuh, namun fakta di lapangan, mayoritas keputusan diambil melalui manhaj qauli dan ilhaqi.

Ada beberapa perbedaan antara kedua manhaj tersebut, di antaranya:

  1. Dalam ijtihad jama’i yang dipraktikkan oleh lembaga-lembaga fatwa, muktamar fikih Timur Tengah tidak malu-malu menyebut upaya yang mereka lakukan sebagai proses ijtihad-fatwa, mufti-mujtahid, sedangkan di LBM kalimat ijtihad-mujtahid, fatwa-mufti dipandang masih tabu untuk dilabelkan kepada mereka.
  2. Proses ijtihad jama’i sudah berani melakukan terobosan dengan melakukan tarjih, mengambil qaul di luar 4 mazdhab, sedangkan LBM masih sangat hati-hati dengan tetap berpegang teguh pada tarjih dari Imam Nawawi-Rafi’i/kitab mu’tamad lain, dan tidak keluar dari 4 mazdhab.
  3. Dalam proses bahsul masail yang terjadi lebih kepada pengkajian qaul-qaul fikih (menerima hasil matang) ketimbang harus repot mengkaji dalil, berbeda dengan pola ijtihad jama’i yang sudah menitikberatkan pada kajian dalil, maslahat, mafsadah, dan lain-lain.
  4. Fakta di lapangan, bahsul masail dapat dipraktikkan bukan hanya oleh para ulama NU, juga para santri di pesantren. Sepanjang yang saya ketahui, praktik ijtihad jama’i di lembaga-lembaga fatwa, muktamar fikih, dilakukan oleh para ulama’, anggotanya pun tidak sembarangan; seorang yang statusnya masih santri tidak bisa masuk menjadi anggota, berbeda dengan di LBM NU.
  5. Kajian 4 mazdhab di LBM NU belum terlalu impresif. Sebagian kiai terkesan masih canggung menggunakan dan mempraktikkan mazhab di luar mazhab Syafi’i. Berbeda dengan praktik ijtihad jama’i.

Lepas dari plus-minus, benar-salah atau pro kontra dari dua manhaj di atas, kedua manhaj itu bertemu pada titik yang sama: upaya menjawab problematika ummat dalam bidang fikih. Harapannya, kedua manhaj tersebut tidak berhenti menganalisa dan terus melakukan pembenahan terhadap manhaj yang dipakai, sehingga tercapai manhaj yang ideal dan disepakati, karena perbeda’an manhaj, bisa menghasilkan kesimpulan hukum yang berbeda.

Adapun penulis perlu menyampaikan di sini, bahwa tulisan ini tidak bermaksud mentarjih dan memberikan penilaian terhadap keduannya. Wallahu a’lam. (*)

Ustaz Nurul Fattah,

Penulis sedang studi di dalah satu perguruan tinggi di Lebanon. Saat ini mendapat amanah menjabat Rois Syuriyah PCINU Lebanon.

 

 

Comments