Kretek, Pendiri Bangsa dan Diplomasi Budaya

0
131
Dr H Nur Said SAg MAG MA (kanan) bersama Duta Besar. H E Mayerfas. Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda

Oleh: Dr H Nur Said SAg MAg MA

Kretek, rokok yang dikenal penemunya dari Kudus, Mbah Djamhari [1] ini khas Indonesia dengan aroma cengkih yang kuat, bukan hanya produk tembakau biasa. Di balik asapnya, tersimpan sejarah panjang diplomasi budaya yang memainkan peran penting dalam memetegarkan Indonesia di mata dunia.

Tokoh-tokoh besar seperti Ir. Soekarno, KH Hasyim Asy’ari, dan KH Agus Salim adalah beberapa contoh pemimpin, yang memanfaatkan kretek sebagai alat diplomasi budaya untuk meningkatkan citra Indonesia [2].

Ir. Soekarno, sebagai presiden pertama Indonesia, memahami pentingnya citra bangsa di mata internasional. Beliau sering menggunakan kretek sebagai simbol ke-Indonesiaan dalam berbagai kesempatan diplomatik.

Kretek tidak sekadar sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme, tetapi juga sebagai representasi keaslian budaya Indonesia. Soekarno memanfaatkan popularitas kretek untuk menunjukkan keunikan dan kekayaan budaya Indonesia kepada dunia [3].

KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), juga melihat potensi besar dalam kretek sebagai alat untuk memperkuat identitas Islam Indonesia.

Hadratus syaikh mendukung industri kretek, sebagai manifestasi pemanfaatan sember daya alam lokal untuk sarana penguatan ekonomi umat, yang juga dapat meningkatkan citra positif Islam di mata dunia untuk kehangatan.

Melalui dukungannya, Kiai Hasyim Asy’ari membantu mengembangkan industri kretek yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga memperkuat nilai-nilai keagamaan dan budaya [4].

Sedang KH Agus Salim, seorang diplomat ulung, menggunakan kretek sebagai alat diplomasi informal. Dalam berbagai pertemuan diplomatik, beliau sering menawarkan kretek sebagai hadiah kepada tamu-tamunya.

Tindakan tersebut bukan hanya sebagai simbol keramahan, juga sebagai upaya untuk memperkenalkan budaya Indonesia. Agus Salim percaya, bahwa dengan memperkenalkan keunikan kretek, Indonesia dapat membangun citra positif dan meningkatkan hubungan diplomatik dengan Negara-negara lain [5].

Kretek juga memainkan peran penting dalam diplomasi budaya Indonesia selama masa kolonial. Banyak aktivis pergerakan kemerdekaan menggunakan kretek sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Dengan mempromosikan kretek, mereka tidak hanya mempromosikan produk lokal tetapi juga menunjukkan kekuatan dan ketahanan budaya Indonesia [6].

Dalam konteks modern, diplomasi budaya melalui kretek masih relevan. Pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan kretek sebagai bagian dari strategi diplomasi publik untuk meningkatkan citra negara. Melalui promosi kretek, Indonesia dapat memperkenalkan keanekaragaman budaya dan kekayaan warisannya kepada dunia [7].

Ini menunjukkan, bahwa pengalaman Ir Soekarno, KH Hasyim Asy’ari, dan KH Agus Salim dalam memanfaatkan kretek sebagai alat diplomasi budaya memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia.

Kretek bukan hanya produk tembakau, tetapi juga simbol keaslian budaya dan kekuatan diplomasi yang dapat digunakan untuk memetegarkan Indonesia di mata dunia. Selamat Hari Kretek 2025. (Amsterdam, 3 Oktober 2025)

Dr H Nur Said SAg MAg MA,

Penulis adalah pengkaji budaya, dosen sekaligus peneliti Filsafat Budaya pada UIN Sunan Kudus.

Referensi:

[1] Supratno, E. (2016). Djamhari; Penemu Kretek. Pustaka Ifada

[2]: Kahin, G. M. (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornell University Press.

[3]: Soekarno. (1963). Di Bawah Bendera Revolusi. Panitya Penerbit “Di Bawah Bendera Revolusi”.

[4]: Feillard, A., & Madinier, R. (2013). The End of Innocence? Indonesian Islam and the Temptations of Radicalism. NUS Press.

[5]: Nurcholish Madjid. (1997). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Mizan.

[6]: Reid, A. (1974). The Indonesian National Revolution 1945-1950. Longman.

[7]: Kementerian Luar Negeri RI. (2020). Diplomasi Budaya Indonesia: Membangun Citra Positif di Era Global. Kementerian Luar Negeri RI.

Comments