Saling Gempur Kelompok Radikal

0
962

Oleh: Dr H Muchotob Hamzah MM

Bom bunuh diri di gereja Katredal, Makasar, oleh dua sejoli L dan SYF, pasangan yang baru enam bulan akad nikah, dan perawan  ZA yang merangsek Mabes Polri jam 16.30 Rabu, 31 Maret lalu, menyentakkan ulang ulah pengikut baiat ISIS di Indonesia.

Jika dikaitkan benang merahnya, maka tepat apa yang Siswono Yudo Husodo kutip dari pidato Hillary Clinton di hadapan Senat, yang menyatakan, bahwa ISIS dan membesarkan Wahabi sengaja dilakukan oleh Amerika Serikat untuk mengantam pemerintahan setempat (Kompas, 19/11/2020/6).

Peristiwa itu menjadi penanda, bahwa pengebomnya dari kelompok JAD -tetapi bukan pimpinan Aman Abdurahman- yang juga berafiliasi kepada ISIS, dan bukan JI -Abu Bakar Ba’asyir- yang berafiliasi kepada Al-Qaeda.

Memang Aiman Az-Zawahiri (pengganti Usamah Bin Laden), menyatakan, Al-Qaeda  tidak ada hubungannya dengan ISIS, yang merupakan sempalan Al-Qaeda. Namun begitu tujuannya sama, yaitu menyingkirkan pemerintahan thaghut versi mereka.

JAD sebagaimana ISIS, tidak pernah melawan AS meskipun dedengkotnya, Abu Bakar Al-Baghdadi, telah dihabisi oleh Donald Trump. Berbeda dengan JI yang menarget orang asing, terutama AS, sebagaimana target dari pendirinya, Usamah Bin Laden.

Untuk kawasan Timur Tengah dan negara-negara Afrika, perdebatan antarkelompok radikal telah melahirkan hukum besi. Pimpinan organisasi teror Salafi-Jihadis, Boko Haram di Nigeria, Abu Bakar Shekau, berbaiat kepada ISIS, 2015. Kemudian pimpinan ISIS mengganti Shekau dengan Abu Mus’ab al-Barnawi, dan terjadilah konflik internal yang dahsyat sesama jihadis.

Ada beberapa penyebab konflik Al-Qaeda dengan ISIS, sehingga saling gempur. Pertama, tumpang tindih kekuasaan wilayah. Kedua, perdebatan ideologis tentang siapa yang masih komited dengan prinsip jihad fi sabilillah. Ketiga, Al-Qaeda menilai ISIS terlalu keras dan brutal, sedang ISIS menilai Al-Qaeda terlalu lembek -meskipun berhasil meruntuhkan WTC di New York.

Keempat, target Al-Qaeda lebih kepada pasukan asing dan tidak menarget sesama muslim. Sementara ISIS menarget juga sesama muslim -dipandang kafir. Kelima, ISIS lebih fokus membangun pejuang dogmatis khilafah Islamiyah, sedang Al-Qaeda membangun ideologi secara argumentatif. Keeman, Al-Qaeda lebih menyasar target kepentingan AS, sementara ISIS belum pernah menjadikannya sebagai target.

Dampaknya, Al-Qaeda serta ISIS di Timur Tengah dan Afrika, sering bentrok di berbagai medan perang.  Di antaranya  terjadi di pedalaman Delta Niger di wilayah Mopti, kemudian di in-Tillit, Tan Tabaqat di wilayah negara Mali, dll.  (https://www.eurasiareview.com/030730-islamic-state-and-alqaeda-clash-in-the-sahel-analysis/).

Radikalisme sendiri bisa muncul dari populisme, yang mengklaim pro rakyat. Di waktu lalu, lahir populisme kiri yang berbasis pertentangan kelas borjuis dan proletar (PKI dkk.), Dan kini lahir populisme kanan yang berbasis nasien, budaya, religi, dan lainnya.

Lepas dari hal-ihwal tersebut, wacana penyempurnaan dari sebuah sistem bernegara sebenarnya merupakan hal yang wajar. Dengan syarat diperjuangkan secara demokratis, tidak membongkar kesepakatan  yang tidak bertentangan dengan hukum Allah, dan menghindarkan perilaku kekerasan.

Strategi ini, tentu tidak mudah. Oleh karenanya, pendidikan inklusif mutlak diinternalisasikan secara kontinu dan sustainabel. Kaum radikal kadang juga mengajukan alibi. Karena radikalisme  memang bukan monopoli agama atau kelompok tertentu. Di India, Myanmar, China dan negara demokrasi Barat, umat Islam yang minoritas  juga menerima dampak populisme, kendati jarang terjadi sebaliknya.

Sebagai contoh kecil, yakni perlakuan mereka di Eropa-Amerika yang terekspos. Ada Octav Urban (PM Hongaria), mantan presiden Donald Trump (AS), Marine Le Pen (Front Nasional Perancis), Lutz Bachman (ormas PEGIDA), Geert Wilders (Belanda) dan lainnya yang terus mengobarkan islamophobi dan kebencian.

Lepas dari semua itu, bagaimanapun, kita mesti senantiasa berdoa dan bertindak yang terbaik, agar dunia semakin damai. Wallaahu a’lam bi al-shawaab. (*)

Dr H Muchotob Hamzah MM,

Penulis adalah Rektor Universitas Sains Al-Qur’an (Unsiq) Jawa Tengah di Wonosobo

Comments