
PATI, Suaranahdliyin.com – Omah Kuno Prapatan Pete yang berada di Dusun Sumber, Desa Soneyan, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati menjadi saksi diselenggarakannya jagong budaya yang diinisiasi para pemuda desa setempat.
Jagong budaya bertajuk “Sinergi Tradisi Desa sebagai Sumber Kekuatan Desa” tersebut digelar, dalam rangka menyemarakkan Festival Lamporan 2025 di Desa Soneyan. Acara tersebut dirangkai dengan pameran lukisan karya perupa dari Pati, Kudus, dan Jepara.
Didaulat sebagai narasumber pada kesempatan itu Jesy Segitiga (Ketua Kampung Budaya Piji Wetan, Kudus), Ragil Haryo Yudiartanto (sejarawan, Pati) dan Mbah Sunarso (sesepuh Desa Soneyan). Acara dipandu Arif Khilwa, penyair yang juga Ketua Lesbumi NU Kabupaten Pati.
Mbah Sunarso, menyampaikan, Desa Soneyan terdiri atas tiga dukuh yang masing-masing memiliki tradisi budaya yang tetap eksis dan dijaga masyarakat.
“Tradisi Lamporan berasal dari Dukuh Sumber, Silat Jawa (Gong Cik) dari Dukuh Clangap, dan Tari Topeng dari Dukuh Kedung Panjang. Ketiga tradisi itu masih rutin dipertunjukkan setiap sedekah bumi digelar di masing-masing dukuh,” katanya.
Dia pun mengisahkan sejarah dan perkembangan Lamporan di Dukuh Sumber. Efendi, perwakilan pelaku Silat Jawa Gong Cik, juga membagikan sejarah awal mula silat tersebut di Dukuh Clangap hingga kini. Sedang Agus Syaroni, menjelaskan sejarah dan perkembangan Tari Topeng di Dukuh Kedung Panjang.
Selanjutnya, sejarawan Ragil Haryo Yudiartanto, mengutarakan, Lamporan awalnya muncul sekitar abad ke-19, sebagai respons terhadap wabah penyakit pasca perang. “Lamporan menjadi simbol yang menghubungkan manusia dengan Tuhan sebagai wujud permohonan dan pengusiran wabah. Nilai budaya inilah yang penting untuk diwariskan, bukan hanya euforia semata,” ujarnya.
Ragil menilai, potensi budaya di Desa Soneyan sangat besar. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah, untuk memperkenalkan dan mengajarkan budaya itu kepada generasi muda, termasuk melalui kajian dan penelitian yang dapat didiseminasikan secara luas.
“Budaya yang ada di Soneyan ini, sebaiknya tidak dipaksakan keluar, melainkan membiarkan orang luar datang untuk menikmati dan mempelajari, sehingga dapat menjadi destinasi wisata budaya,” pesannya.
Sedang Jesy Segitiga, dalam jagong budaya itu berbagi pengalamannya membangun dan mengembangkan Kampung Budaya Piji Wetan (KBPW) di Desa Piji, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus.
Jesy Segitiga berpandangan, warisan budaya harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, agar dapat diterima oleh anak muda. Ia pun menyontohkan penggunaan bahasa dan media yang dekat dengan generasi muda agar budaya tetap hidup dan tidak hilang.
“Apa yang kami lakukan di Piji Wetan bisa menjadi contoh bagi desa lain,” ujarnya. “Potensi budaya Desa Soneyan ini sangat luar biasa dan bisa menjadi ladang kreativitas,” lanjutnya menambahkan. (rls/ khilwa, ros, adb)