Seorang Muthawif Idealnya Kuasai Fiqh Haji dan Umrah dari Empat Madzhab, ini Alasannya

0
57
KH. Mustain Nasoha menjadi pemateri salam pelatihan tourleader Haji dan Umrah

SURAKARTA,Suaranahdliyin.com – Seorang muthawif (pemandu haji dan umrah) idealnya menguasai fiqih Haji dan Umrah dari keempat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Harapannya, agar mampu memberikan bimbingan yang solutif dan tepat sasaran bagi jamaah dari berbagai latar belakang.

Demikian yang disampaikan Pengurus Lembaga Penyuluhan, Musohhih Lembaga Bahsul Masail NU Surakarta KH. Mustain Nasoha dalam acara Sertifikasi dan Pelatihan Muthawif dan Tour Leader, Selasa dan Rabu, (8–9/7/ 2025) Bertempat di Kusuma Sahid Prince Hotel, Kota Surakarta, acara ini diikuti Muthawif dan Tour Leader FMA seluruh Indonesia.

“Alhamdulillah, selain Fiqih dasar Haji dan Umroh, telah saya sampaikan 67 persoalan fiqih terkini seputar Haji dan Umrah, yang ditinjau dari sudut pandang empat mazhab dan dilengkapi dengan khilafiyah para ulama dalam setiap mazhab,” ujar KH Mustain di hadapan para peserta.

Menurut KH. Ahmad Muhammad Mustain Nasoha, yang saat ini juga dipercaya sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta, terdapat tiga alasan mendasar yang menjadikan penguasaan fiqih empat mazhab sebagai kebutuhan esensial bagi setiap muthawwif dalam membimbing ibadah Haji dan Umrah.

Pertama, jelas dia, menghadapi Keragaman Latar Belakang Jamaah.Diterangkan, setiap jamaah Haji dan Umrah datang dari berbagai negara dan daerah dengan tradisi keagamaan yang beragam. Sebagian mengikuti mazhab Syafi’i, lainnya mungkin berasal dari tradisi Hanafi, Maliki, atau Hanbali.

“Dengan menguasai fiqih empat mazhab, seorang muthawwif dapat memberikan bimbingan yang sesuai dengan keyakinan fiqih jamaah, tanpa memaksakan satu pendapat dan tetap menjaga kenyamanan serta kekhusyukan ibadah mereka,”ungkap Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LBHNU) Jawa Tengah ini
Alasan kedua, lanjut KH.Mustain, menjadi solutif dalam situasi darurat dan masalah fiqih lapangan.Di Tanah Suci, terang dia, seringkali muncul kondisi darurat yang tidak ditemukan di buku panduan umum, seperti: haid saat akan tawaf, sakit saat wukuf, keterlambatan saat nafar awal, dan sebagainya.

“Dalam kondisi seperti itu, pemahaman terhadap pendapat-pendapat mazhab yang berbeda dapat menjadi solusi syar’i yang sah. Muthawwif yang hanya memahami satu mazhab akan mudah buntu, sedangkan yang menguasai empat mazhab akan lebih fleksibel dan siap memberi alternatif yang kuat secara dalil,”erangnya seraya mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal berkata:jika engkau kesulitan dalam masalah, ambillah pendapat Imam Malik.

Alasan ketiga, terang KH. Mustain,menumbuhkan sikap toleransi dan hilangnya fanatisme mazhab. Ia menguraikan belajar empat mazhab melatih muthawwif untuk melihat bahwa perbedaan dalam fiqih adalah rahmat, bukan konflik. Ini membentuk karakter pemimpin rombongan yang bijak, inklusif, dan tidak mudah menyalahkan jamaah hanya karena berbeda praktik.

“Sikap seperti ini sangat penting dalam memelihara harmoni dan ukhuwah di tengah jamaah yang terdiri dari latar belakang keilmuan yang beragam,”ujarnya dengan mengutip pernyataan Imam al-Qarafi (Maliki) bahwa Perbedaan dalam masalah cabang fiqih bukanlah bentuk perpecahan, melainkan ruang keluasan dari Allah.(Alif Adi Saputra/adb)

Comments