Risalah Kenabian di Medsos

0
536

Oleh : Woko Utoro

Sejak kemunculannya internet yang menjadi ruh utama medsos membuat berkah sekaligus resah. Keberkahan dan keresahan dengan adanya digitalisasi adalah satu paket yang tak bisa dihindarkan. Keberkahan adanya internet tentu membantu pekerjaan lebih cepat dan efisien. Pekerjaan yang bersifat konvensional seperti membeli tiket, menjual dagangan, membayar tagihan hingga pesan makanan kini tinggal dalam genggaman. Lebih cepat, tepat dan efisien sekaligus menjadi ciri modernisasi. Akan tetapi keresahan juga timbul seperti penyebaran hoaks merajalela, ujaran kebencian melanda dan segala macam tipu daya media cyber tak terhindarkan.

Paradoks di medsos merupakan hal yang wajar pasalnya di sana adalah gelanggang terbuka bagi siapa saja dalam mencari kepuasan. Pencarian itulah yang jika disadari sebenarnya diatur dalam etika. Cuma sayangnya etika di medsos sangat sukar ditemui. Oleh karena itu para aktivis, orang bijak, konten kreator, dan pendakwah turun gunung untuk menyemai etika agar medsos terasa sejuk. Medsos kita tahu salah satu penyumbang permasalahan terbesar karena di sana rawan salah paham atau bahkan banyak paham yang salah. Istilah orang Eropa, medsos atau internet itu 99%nya spam alias sampah. Maka beberapa negara seperti di Cina, Korea, dan India mengatur dengan ketat penggunaan internet dan medsos bagi warganya.

Permasalahan yang ditimbulkan medsos kian hari semakin mengkhawatirkan. Psy war, pornografi, ujaran kebencian, penipuan berkedok donasi, cyberbullying, komentar berbau SARA, penggiringan opini, penyebar gerakan radikal, fake news dll menyebar hampir ke tiap platform di media digital. Maka dari itu perlulah usaha riil untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Permasalahan yang tentu tidak bisa dianggap remeh khususnya bagi mereka dengan tingkat pemahaman rendah.

Mengupayakan Literasi Digital

Di tengah problematika media digital tersebut banyak di antara kita terus mengupayakan bagaimana digitalisasi dimanfaatkan secara maksimal. Salah satunya upaya PBNU yaitu menyemai literasi digital ke berbagai kalangan terutama ke tingkat struktural paling bawah. Bagi PBNU sejak kick off menyambut abad ke duanya literasi digital adalah langkah utama untuk turut serta mengentaskan segala problematika keumatan.

NU menyadari bahwa permasalahan di masyarakat salah satunya terlahir dari medsos. Mungkin kita mengingat peristiwa pilpres paling menegangkan pada 2014 dan 2019 semua karena medsos. Dari medsos itu kita tahu melahirkan kubu-kubu bahkan sampai terjadi pemandangan demo berjilid-jilid. Tanpa adanya hasrat untuk puasa medsos orang-orang cenderung terjerembab dalam arus media tersebut. Saudara bisa pecah, keluarga bisa bubrah semua cuma karena medsos. Permasalahan itu ditengarai karena tingkat literasi masyakarat yang rendah, syahwat teknologi yang tinggi dan kepentingan yang tak terkendali.

Literasi digital diharapkan dapat mengedukasi masyarakat untuk bermedia dengan baik. Bahwa apa yang ada dalam media perlu dipertimbangkan secara matang. Persoalan posting baik berupa tulisan, gambar maupun video seharusnya mempertimbangkan pemikiran yang kritis Gus Nadir mengistilahkan dengan saring sebelum sharing. Lewat upaya mengelola informasi di medsos itulah harapannya masyarakat segera sadar bahwa hal yang berharga di manapun adalah etika atau moralitas. Karena etikalah sesungguhnya manusia bernilai. Maka benarlah pepatah lawas di medsos mengatakan, “cuitanmu harimaumu”.

Menyemai Risalah-risalah Profetik

Dari fakta-fakta yang ada medsos adalah jazirah basah yang perlu mendapat sentuhan etika moral. Medsos dan dunia digital secara keseluruhan perlu mendapat pencerahan salah satunya lewat para pendakwah. Para pendakwah moderat diharapkan turut serta untuk membanjiri konten digital dengan keilmuan yang humanis. Karena dewasa ini medsos justru masih dikuasai oleh kubu sebelah lewat dakwah Islam transnasionalnya.

Melihat kenyataan itulah para pendakwah NU khususnya juga turut membuat kontranarasi dalam rangka membendung arus radikalisme yang subur di medsos. Salah satu upaya pendakwah adalah menebar sifat kenabian seperti menyampaikan kebaikan, kejujuran, dapat dipercaya dan tentunya di jalan kebenaran. Umat memang harus tahu bahwa sifat kenabian yang telah dibangun lama tersebut harus juga bertransformasi ke media digital.

Sifat nabi seperti jujur justru adalah utama dan terbukti mampu membina masyarakat Arab pada saat dulu. Dan sifat jujur itulah yang tidak kita temui di internet. Oleh karenanya nabi sebagai manusia paripurna adalah role model utama umat untuk ditiru. Umat jangan sampai kehilangan sosok nabi nan agung itu karena para pendakwah salah dalam memberi tafsir dan contoh. Justru seharusnya sekalipun zaman silih berganti sifat kenabian tak akan boleh mati. Hanya dengan pribadi Nabi Muhammad SAW sang penerang itulah kita umatnya bisa terus dibimbing ke jalan kebenaran.

Sifat-sifat kenabian itulah menitis pada konten-konten keagamaan yang teduh, Islam ramah, Islam santun, Islam senyum, pesan-pesan moral yang menyejukan serta postingan bergizi ilmu juga tak boleh kalah dalam membendung arus deras tersebut. Kalangan akademisi juga tak boleh kalah dalam upaya edukasi masyarakat yang kian hari merasa pintar dalam bahasa Tom Nichols “matinya kepakaran”. Ilmu-ilmu di pesantren juga harus masuk ke dalam visi digital salah satunya lewat channel YouTube, serta medsos besar lainnya seperti Twitter, IG dan Facebook.

Untung saja kita memiliki optimisme bahwa kini ulama pewaris para nabi juga urun rembug dalam membanjiri medsos dengan kalam ilahinya. Misalnya kita tahu fenomena Gus Baha menjadi hawa sejuk bahwa risalah kenabian tersebut akan tersemai di medsos. Para juru dakwah lain seperti Gus Mus, Gus Miftah, Gus Muwafiq, Habib Ja’far Al Haddar, Abi Quraish Shihab, Ustadzah Mumpuni, Nyai Nur Rofiah, Nyai Badriyah Fayumi turut dalam menyampaikan pesan agung nabi.

Risalah kenabian memang tak boleh mati sekalipun zaman telah berganti. Digitalisasi sebenarnya memang harus dimaknai dengan jernih alias memiliki visi ke depan. Jangan sampai kita hanya puas lewat para juru dakwah tersebut. Maka dari itu para santri sebagai agen perubahan sekaligus aset pesantren harus juga ikut dalam jihad bil medsos. Tujuannya sederhana yaitu li ila kalimatillah termasuk menyadarkan diri kita sesuai pesan nabi bahwa peperangan sesungguhnya adalah melawan diri sendiri. Medsos, gadget dan perangkatnya barangkali tengah membuat kita bertanya apakah ini bagian dari menjauhkan umat dari agamanya. Islam datang dari tidak dikenal dan akan kembali tidak dikenal.(*)

Woko Utoro.

Penulis Lahir di Indramayu, 25 tahun yang lalu. Kini masih menyelesaikan studi di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung jurusan Studi Islam. Penulis juga tercatat sebagai santri di PP. Himmatus Salamah Srigading asuhan Kyai Mohammad Sholeh. Penikmat sastra dan sarkub mania. Bisa dihubungi di woksma@gmail.com.

CATATAN : Artikel ini dipublikasikan untuk kepentingan lomba, sehingga tidak dilakukan proses editing oleh pihak redaksi.

 

Comments