Menyiapkan Kendaraan Akhirat

0
1122

Oleh: M Basuni Baihaqi

Tidak sepenuhnya syari’at Islam mengganti syari’at agama sebelumnya. Sebagian dari syari’at agama terdahulu; ada yang dipermudah, diganti, bahkan dipersulit. Semua itu sesuai kondisi suatu kaum. Berkurban sendiri adalah syari’at Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, yang masih diabadikan dalam Islam.

Hukum berkurban adalah sunnah bagi ummat Nabi Muhammad ﷺ. Kecuali jika memang ia bernazar, maka hukumnya menjadi wajib. Hewan yang disembelih untuk berkurban, bermacam-macam. Boleh unta, sapi, atau kerbau, yang masing-masing dari hewan itu, bisa untuk satu hingga tujuh orang.

Boleh juga berkurban dengan kambing, yang hanya untuk satu orang. Namun jika memang memiliki kemampuan, maka menyembelih tujuh kambing lebih utama daripada satu unta, sapi atau kerbau.

Mengenai waktu penyembelihan, disunnahkan pada hari nahr (10 Zulhijjah) hingga tanggal 13 Zulhijjah. Adapun saat 10 Zulhijjah dimulai setelah matahari terbit, salat dua rakaat beserta khutbah singkat (sekitar 15 menit setelah matahari terbit). Sedangkan pada 13 Zulhijjah, tidak melebihi tenggelamnya matahari.

Walaupun hukum kurban pada dasarnya sunnah, masih ada kesunahan-kesunahan lagi di dalamnya. Inilah setetes pemurah Allah dari samudera pemurahNya yang tiada batas.

Di antara kesunahan bagi yang berkurban adalah, pertama, tidak memotong kuku, mencukur rambut, ataupun memisahkan anggota tubuh lainnya -keculi dalam keadaan darurat- dari 1 Zulhijjah hingga hewan disembelih.

Ini semua disebabkan anggota tubuh memintakan ampunan terhadap seseorang yang berkurban. Bahkan menurut Imam Ahmad, haram hukumnya jika memang tidak ada sesuatu yang sangat darurat.

Kedua, menyembelih sendiri. Kesunnahan ini bagi orang laki-laki yang mampu menyembelih sendiri. Ketiga, menyaksikan penyembelihan bagi yang mewakilkan, baik laki-laki maupun perempuan.

Keempat, saat hewan disembelih, membaca
إن صلاتي ونُسُكِي ومَحيَيَ ومماتي لِله رب العالمين لا شريك له وبذلك أمرتُ وانا من المسلمين

Kelima, menyedekahkan semua daging kurban. Sebenarnya bagi yang berkurban berhak memiliki 1/3 daging, dan sisanya dibagikan kepada kerabat, dan tetangga. Kecuali jika kurban nazar, maka seluruhnya wajib disedekahkan.

Dalam sebuah ibadah pasti Allah menyelinapkan hikmah didalamnya. Adapun hikmah berkurban adalah menjadikannya sebagai tunggangan kelak di hari kiamat. Berbeda halnya dengan aqiqoh, dimana hikmah aqiqoh adalah sebagai wasilah dipertemukannya kedua orang tua dengan anaknya kelak di akhirat.

Di ceritakan, bahwa Imam Ahmad bin Ishaq berdoa agar dipertemukan saudaranya yang telah meninggal. Saat bertemu dalam mimpi, Imam Ahmad bertanya, “Apa yang Allah perlakukan terhadapmu?” Saudaranya menjawab, “Allah mengampuniku sebab satu dirham yang aku shodaqohkan kepada wanita tua.” Imam Ahmad bertanya kembali, “Apa yang ada di sekitarmu.” “Ini adalah hewan kurbanku tiap tahun yang menjadi tungganganku menuju surga, adapun yang saya naiki adalah kurban pertamaku.” Jawabnya sambil meninggalkan Imam Ahmad.

Dalam kitab Durrotun Nashihin, dijelaskan, bahwa manusia diberi tunggangan (yang membawanya) tiap saat. Mulai dari dibawa oleh seorang ayah saat berupa air mani, dibawa oleh ibu ketika hamil, digendong ke sana kemari saat kecil, mengendarai kuda ataupun khimar saat didarat (mungkin sekarang sepeda, motor, mobil, dsb), menaiki kapal saat di laut. Dan kelak di hari kiamat, ia juga akan menunggangi kendaraan mereka.

Itulah Allah berfirman,

يَوْمَ نَحْشُرُ الْمُتَّقِينَ إِلَى الرَّحْمَٰنِ وَفْدًا
“(Ingatlah) hari (ketika) Kami mengumpulkan orang-orang yang takwa kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat” (QS Maryam : 85). Keadaan terhormat yang dimaksud di sini, adalah dalam keadaan menaiki tunggangan.

Rasulullah ﷺ bersabda,
عظموا ضحاياكم فإنها على الصراط مطاياكم
“Muliakanlah hewan kurban kalian, sesungguhnya ia menjadi tungganganmu saat di shirat.”

Makna tunggangan di sini, bukan berarti bahwa kelak ia menaiki unta, sapi ataupun kambing. Melainkan kelak ia akan memiliki tunggangan sesuai apa yang ia sembelih untuk berkurban.

Jika memang unta maka ia memiliki tunggangan terbaik, begitu juga seterusnya sesuai tingkatan di bawahnya. Bahkan sebagian ahli tafsir menjelaskan, andaikan tak mampu berkurban, maka amal saleh bisa menjadi tunggangannya kelak.

Selanjutnya, apabila ada pertanyaan, mengapa unta, sapi dan kerbau bisa untuk bertujuh? Dan berkurban berkali-kali tetap disunnahkan, padahal ia telah memiliki tunggangan?

Sebagaimana tunggangan di dunia seperti mobil yang dapat digunakan untuk beberapa orang, dan sepeda terkadang hanya cukup untuk satu orang, maka tunggangan di akhirat pun demikian. Memiliki kapasitas sendiri-sendiri.

Begitu juga ketika seseorang memiliki banyak tunggangan di dunia agar bisa dibuat bergiliran, tunggangan akhirat pun demikian. Bisa dibuat untuk bergantian kelak di surga. Wallahu a’lam. (*)

M Basuni Baihaqi,

Penulis adalah mahasiswa Universitas Imam Syafiie, Hadramaut, Yaman.

Comments