Perempuan, Disabilitas, dan Hak Setara

0
76

Oleh : Nyai Hj Fatimah Asri Muthmainnah,

Pengantar Redaksi; Rabu (3/12/2025) kemarin diperingati sebagai Hari Disabilitas internasional.  Untuk memberikan pencerahan kepada pembaca, Suaranahdliyin.com meminta secara khusus tulisan Komisioner di Komisi Nasional Disabilitas (KND) periode 2021–2026 Nyai Hj Fatimah Asri Muthmainnah. Ia menuliskan catatan reflektif terkait perempuan dan hak disabilitas, berikut ini.(y).

Bagi saya, baik sebagai Komisioner Disabilitas maupun sebagai aktivis perempuan di Fatayat NU, Hari Disabilitas Internasional memiliki makna yang sangat penting. Sebagai penyandang disabilitas, momentum ini mengingatkan dunia bahwa ada sekelompok masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus dan membutuhkan dukungan yang mencakup penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak.

Setiap tanggal 3 Desember menjadi pengingat bahwa di sekitar kita ada kelompok dengan ragam hambatan—fisik, sensori, mental, maupun intelektual—yang harus diakui keberadaannya dan didukung secara berkelanjutan.

Komisi Nasional Disabilitas memandang bahwa ketika masyarakat memiliki kepedulian, percepatan pemenuhan hak penyandang disabilitas akan semakin mungkin diwujudkan. Hal ini bukan hanya tugas Komnas Disabilitas, tetapi seluruh lapisan masyarakat, termasuk Fatayat sebagai organisasi perempuan berbasis keagamaan.Sejak lama saya mendorong agar organisasi keagamaan berada di garda terdepan dalam kolaborasi dan dukungan bagi penyandang disabilitas.

Jika melihat kondisi pemenuhan hak disabilitas di daerah, perlu diakui bahwa secara regulasi negara kita sudah sangat lengkap. Mulai dari ratifikasi CRPD, hadirnya UU No. 19 Tahun 2011 dan UU No. 8 Tahun 2016, hingga berbagai aturan turunannya—PP, Perpres, Permen, hingga keputusan lembaga. Tantangannya justru pada sejauh mana pemerintah daerah memahami perspektif disabilitas dan mampu menerjemahkan mandat regulasi ke dalam program kerja yang jelas dan teranggarkan.

Ketika penyandang disabilitas tidak dipahami sebagai pemilik hak, yang muncul adalah pendekatan yang masih charity-based, bukan human rights-based.

Meski begitu, sejak 2016 terdapat capaian positif berupa pergeseran paradigma dari belas kasihan menuju hak asasi. Keterlibatan organisasi penyandang disabilitas semakin terlihat, infrastruktur mulai dibenahi agar lebih ramah disabilitas, dan penyandang disabilitas mulai dilibatkan dalam proses pembangunan—sesuatu yang hampir tidak pernah terjadi 10–20 tahun lalu. Namun praktik baik ini belum merata di semua wilayah.

Tantangan terbesar lain adalah akses terhadap layanan publik, terutama pendidikan. Data menunjukkan situasi yang memprihatinkan: akses pendidikan dasar penyandang disabilitas baru sekitar 30%, SMP 14%, SMA 11%, dan perguruan tinggi di bawah 4%. Padahal pendidikan berkaitan erat dengan peluang kerja. Meski formasi kerja untuk disabilitas semakin terbuka, syarat ijazah tetap berlaku. Inilah mengapa negara perlu memberikan afirmasi baik dalam pendidikan maupun ketenagakerjaan, yang didukung oleh penyediaan aksesibilitas dan akomodasi layak agar penyandang disabilitas benar-benar bisa hadir dan berpartisipasi setara.

Dalam konteks ini, Fatayat NU memiliki peran penting dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Sebagai organisasi perempuan yang memiliki perhatian pada pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, penting diingat bahwa ada perempuan dan anak dengan disabilitas yang membutuhkan perhatian lebih.

Ruang kontribusi Fatayat sangat luas, mulai dari tingkat pusat hingga ranting, karena penyandang disabilitas banyak berada di akar rumput. Fatayat dapat mengambil peran sebagai pendamping atau relawan bagi disabilitas intelektual, sensori, maupun netra, serta menyediakan ruang belajar bagi mereka yang kesulitan mengakses pendidikan formal.

Fatayat juga dapat terlibat dalam kerja-kerja advokasi di wilayah masing-masing. Inklusivitas tidak mungkin terbangun hanya oleh penyandang disabilitas; dukungan dari lingkungan, khususnya organisasi perempuan seperti Fatayat, sangatlah penting.

Pemerintah sebagai penyelenggara negara perlu mengorkestrasi seluruh unsur masyarakat dalam membangun pembangunan yang inklusif. Mandat undang-undang perlu diterjemahkan secara runtut ke dalam sasaran strategis, rencana aksi nasional dan daerah, hingga RKPD. Pelibatan bermakna penyandang disabilitas sangat diperlukan agar program pembangunan benar-benar sesuai kebutuhan, termasuk penyediaan infrastruktur ramah disabilitas yang disesuaikan dengan kondisi tiap daerah.

Namun partisipasi ini tidak mungkin terjadi tanpa pemenuhan hak dasar seperti aksesibilitas dan akomodasi layak. Semua sektor—pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi, media, pelaku usaha—harus bekerja bersama dalam kerangka pentahelix untuk menghilangkan hambatan-hambatan individual yang selama ini melekat pada penyandang disabilitas. Disabilitas bukan tentang kelemahan; yang membuatnya tampak lemah adalah ketika hak-hak dasar tidak dipenuhi.

Pesan saya di Hari Disabilitas Internasional kali ini adalah ajakan untuk melihat penyandang disabilitas sebagai bagian dari keragaman bangsa, bukan beban masyarakat. Kami memang memiliki hambatan sesuai ragam disabilitas, tetapi juga memiliki potensi dan cara unik dalam berkontribusi. Kehadiran kami memperkaya khazanah kehidupan.

Ketika masyarakat nondisabilitas menjadi sistem pendukung yang kuat, penyandang disabilitas akan tumbuh menjadi manusia mandiri, berdaya, dan mampu berkontribusi bagi pembangunan negeri.

Mari menjadikan Hari Disabilitas Internasional sebagai momentum memperkuat komitmen terhadap inklusivitas, memahami kami sebagai bagian dari keberagaman bangsa, dan mengenali potensi kami yang dapat memperkaya kehidupan bersama.(y)

Nyai Hj Fatimah Asri Muthmainnah, Komisioner di Komisi Nasional Disabilitas (KND) periode 2021–2026.Pengasuh Pesantren Al-Aziz Lasem dan Ketua PC Fatayat NU Lasem 2019-2024

Comments