Setiap peringatan Hari Ibu menghadirkan ruang refleksi yang mendalam tentang peran sentral seorang ibu dalam keluarga, masyarakat, dan peradaban. Bagi perempuan Nahdlatul Ulama, Hari Ibu bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan momentum untuk meneguhkan kembali makna keibuan sebagai peran multidimensional yang berakar kuat dalam ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) serta terwujud nyata dalam gerak organisasi.
Dalam pandangan Islam, khususnya dalam tradisi Nahdlatul Ulama, ibu menempati posisi yang sangat mulia. Hadits masyhur yang menyebutkan bahwa “surga berada di bawah telapak kaki ibu” bukanlah sekadar kiasan, melainkan penegasan bahwa rida seorang ibu menjadi kunci kebahagiaan dunia dan akhirat.
Namun demikian, perempuan NU memaknai kemuliaan ini secara lebih luas, tidak terbatas pada ranah domestik semata. Sejarah mencatat bahwa sejak masa awal berdirinya jam’iyah, perempuan NU telah berjuang membuka ruang partisipasi yang setara dalam pengabdian kepada umat dan bangsa.
Konsep al-ummu madrasatul ula—ibu adalah sekolah pertama—menjadi fondasi utama dalam keluarga-keluarga NU. Seorang ibu adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Ia menanamkan nilai akidah, membentuk akhlakul karimah, sekaligus memperkenalkan nilai-nilai ke-NU-an yang moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), dan seimbang (tawazun).
Pendidikan karakter inilah yang menjadi benteng kokoh bagi generasi penerus di tengah derasnya arus perubahan zaman.
Peran edukatif tersebut tidak berhenti di lingkup rumah tangga. Melalui Muslimat NU—badan otonom yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama pada 29 Maret 1946—para ibu nahdliyin mengorganisir diri untuk melembagakan peran pendidikan dalam skala yang lebih luas.
Dengan ribuan lembaga pendidikan, mulai dari PAUD, TK, hingga Raudlatul Athfal (RA), Muslimat NU secara kolektif mengambil peran sebagai “ibu” bagi pendidikan anak-anak bangsa. Inilah manifestasi nyata semangat keibuan yang meluas dari ranah privat ke ruang publik.
Refleksi Hari Ibu bagi perempuan NU juga berarti meneladani spirit perjuangan para pendahulu. Kita mengenang keberanian Nyai R. Djuaesih yang pada Muktamar NU ke-13 tahun 1938 di Menes, Banten, menjadi perempuan pertama yang naik mimbar untuk menyuarakan pentingnya peran perempuan dalam organisasi.
Perdebatan yang mengiringi gagasan tersebut menjadi bukti bahwa jalan perjuangan perempuan NU bukanlah jalan yang mudah, melainkan jalan penuh tantangan yang menuntut kegigihan, kecerdasan, dan keyakinan yang kokoh.
Spirit perjuangan ini diwariskan lintas generasi, dari kepemimpinan Nyai Chodijah Dahlan hingga kini di bawah kepemimpinan Hj. Khofifah Indar Parawansa.
Para ibu NU telah membuktikan kemampuan mereka dalam menyeimbangkan peran sebagai ibu rumah tangga, pendidik anak, sekaligus aktivis sosial, penggerak ekonomi, dan pemimpin di berbagai level.
Mereka adalah bukti nyata bahwa kodrat keibuan bukanlah penghalang untuk berkiprah di ruang publik, melainkan sumber kekuatan dan inspirasi. Pada akhirnya, Hari Ibu mengingatkan kita bahwa perempuan, khususnya ibu, adalah rahim peradaban. Dari rahim seorang ibu lahir generasi-generasi yang akan menentukan arah masa depan agama dan bangsa.
Bagi perempuan NU, menjadi rahim peradaban berarti mendedikasikan diri untuk melahirkan, merawat, dan membesarkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual, emosional, serta memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Peran tersebut terwujud melalui beragam khidmah Muslimat NU di tengah masyarakat, mulai dari pengelolaan panti asuhan dan panti jompo, layanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi umat melalui koperasi, hingga dakwah yang menyejukkan dan membangun harmoni sosial.
Semua itu merupakan perpanjangan dari naluri keibuan yang sarat kasih sayang, kepedulian, dan komitmen untuk senantiasa memberi yang terbaik bagi sesama.
Selamat Hari Ibu. Semoga para ibu, khususnya ibu-ibu pejuang di lingkungan Nahdlatul Ulama, senantiasa dianugerahi kekuatan dan keikhlasan dalam menjalankan amanah mulia sebagai madrasah pertama dan rahim peradaban bagi lahirnya generasi khaira ummah.(y)
Dr. dr. Renni Yuniati, Ketua Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) Kabupaten Kudus







































