Cerpen: M Tsaqiif Putra Wibowo
(Siswa MA NU TBS Kudus dan santri Pondok Tasywiqul Furqon, Kajeksan, Kota, Kudus)
Pagi hari tanpa awan yang menghalangi sinar matahari, nampak seorang anak remaja yang tengah menyilangkan tali sepatunya di teras rumah.
“Cuaca pagi ini sungguh cerah,” bisiknya dalam hati sembari mengikat tali sepatunya.
“Lub, kamu lupa bawa bekal lagi, khan”.
Laki-laki separuh baya keluar dari dalam rumah, mengingatkan.
“Oh, ya. Mah. Ayah. Aku lupa naruh lagi. He he … ” kata si anak sambil tersenyum tipis.
“Hmm … Kebiasaan, kamu. Lupa kok jadi rutinitas,” sang ayah sambil melotot.
“Iya, ayah. Maaf. Saya usahain, deh, agar nggak sering lupa lagi,” kata sang anak menimpali sambil memasukkan bekal ke dalam tasnya.
“Ya sudah. Cepat, sana berangkat, nanti telat”.
“Baik, ayah. Siap, laksanakan!”
Qulub segera memakai tasnya, kemudian pamit kepada ayahnya.
Sehari-hari, untuk pergi pulang berangkat sekolah, Qulub menaiki angkot. Tetapi terkadang juga berjalan kaki bersama teman-temannya.
“Ah, nggak ada angkot lagi. Masa harus jalan kaki sih …”.
Qulub yang saat itu nampak kecapekan, berjalan gontai dan tanpa semangat. Sebuah kaleng yang kebetulan berada di pinggir jalan, ditendangnya, membuat gerombolan kucing kabur.
Meski nampak kurang semangat, namun Qulub tetap berjalan pelan-pelan, dan akhirnya sampai pula di sekolah. Sebelum sampai di sekolah, Qulub sengaja mampir ke warung samping sekolahnya.
“Mak Ju, satu batang rokok, ya”.
Qulub meletakkan tasnya begitu saja, dan mengempaskan pantatnya di kursi kayu.
“Kamu ini masih kecil kok sukanya ngudut terus,” kata wanita paruh baya yang sedang mengelap piring, mengingatkan.
“Namanya juga anak kekinian, Mak,” jawab Qulub santai.
“Hei! Kamu ini dibilangin orang tua kok malah gitu”. Wanita paruh baya itu bicara agak keras namun mengesankan ketegasan.
“Kamu itu masih panjang perjalanan hidupmu, Nak. Jangan kamu rusak dengan asap tembakau itu. Belum waktunya anak seumuranmu mengonsumsi rokok,” sambung Mak Ju yang wajahnya nampak sedih.
“Iya, Mak. Maaf. Qulub janji nggak akan ngerokok lagi,” jawab Qulub lirih sambil menundukkan kepalanya.
Sedari kelas V SD, Qulub sudah mulai mengenal rokok. Dia mengenal rokok saat teman-temannya memaksanya mencoba sehisap dua hisap dari gulungan tembakau itu. Karena dipaksa oleh teman-temannya, akhirnya dia mencoba bagaimana tembakau tersebut lewat tenggorokannya.
Di awal hisapannya, Qulub batuk-batuk dan sesak napas. Namun di hisapan kedua dan seterusnya, ia mulai enjoy dengan asap tembakau dari temannya. Malahan dia mengambil dua batang rokok dari temannya secara paksa. Sejak itulah Qulub suka sekali dengan gulungan tembakau tersebut.
Sesampainya di depan sekolah, Qulub bergegas masuk karena pelajaran sudah dimulai. Bel masuk sekolah sudah berbunyi beberapa puluh menit lalu.
“Aduh. Aku telat, lagi,” sesalnya. Qulub segera berlari kecil ke arah gerbang sekolah. Gerbang segera ditutup. Namun satpam menghentikan niatnya menutup gerbang sekolah, sembari melihat Qulub berlari untuk segera masuk.
“Pak Jari, jangan tutup dulu gerbangnya,” pintanya. Dia kemudian masuk halaman sekolah, sambil menata napasnya yang memburu.
“Makasih Pak Ja …”
Belum lagi ia selesai berucap, satpam sudah lebih dulu bilang: “Kamu … lagi. Bosan. Kenapa kok telat lagi”.
“Aduh saya minta maaf, Pak. Janji, deh. Lain kali saya nggak akan telat lagi,” kata Qulub meyakinkan.
Sesampainya di kelas, Qulub pun lagi-lagi kena tegur oleh guru.
“Qulub, kamu kok jam segini baru masuk kelas. Ini sudah keempat kalinya kamu terlambat, lho”. Kata guru, yang kemudian menyuruhnya berdiri sampai bel istirahat berbunyi.
Dan, saat jam pelajaran semua usai, semua murid pun segera beranjak pulang. Qulub langsung menuju rumah. Padahal biasanya dia mampir dulu ke belakang sekolah, untuk menikmati gulungan tembakau.
Lantaran hari itu dia kena tegur guru, akhirnya dia tidak mood. Sehingga memutuskan untuk langsung pulang.
Sesampainya di rumah, dia melihat ayahnya yang sedang menyiram tanaman.
”Emmmhhh. Tumben, ayah pulang lebih awal,” batinnya.
“Sudah pulang, Lub. Kebetulan ayah dapat tugas WFH (Work from Home) dadakan, makanya ayah pulang lebih awal,” ayahnya menjelaskan tanpa dimintanya.
”Cepat sana ganti baju sana. Di meja makan sudah ayah belikan mie ayam kesukaanmu,” ayahnya melanjutkan, sambil tetap fokus menyiram tanaman.
Tanpa basa-basi, Qulub pun mengikuti perintah ayahnya. Dari dalam rumah, dia melihat ayahnya tengah menelpon seseorang,. Namun demi mendengar telpon yang diterima ayahnya, Qulub pun nampak gelisah.
“Iya, Pak. Terima kasih atas informasinya. Saya minta maaf atas apa yang telah diperbuat’ anak saya,” kata ayahnya sambil menutup pembicaraan.
Qulub, sini sebentar. Ayah mau bicara sama kamu.
Qulub pun langsung duduk di sebelah ayahnya.
”Ada apa, Yah?”
Ayah baru saja dapat telpon dari guru BK sekolahmu. Katanya kamu sering telat masuk sekolah, ya?
Qulub pun semakin gelisah, mendengar pertanyaan ayahnya. Sampai-sampai ingin mengeluarkan satu huruf dari mulutnya pun, sangat susah.
’’I … Iya, Yah. Kemarin aku telat,’’ jawabnya. ’’Tapi aku telat karena nggak ada angkot sama sekali. Jadi aku telat,’’ lanjutnya
Kata Mak Ju, kamu mampir warungnya beli rokok.
Meski ayahnya bicara dengan santai, namun itu tetap membuat Qulub terkejut dan gelisah.
“Hei, kamu masih ingat kata ayah, tidak?’ ucap ayahnya sambil merangkul pundak anaknya dengan tangan kanannya.
“Hmm, yang mana, ya? Khan banyak banget kata-kata ayah.’’
“Kamu tahu, di dalam diri seseorang terdapat suatu titik, yang mana titik tersebut dapat memengaruhi perilakunya,’’ kata ayahnya. Qulub mendengarkan dengan seksama apa yang disampaikan ayahnya.
’’Titik tersebut adalah hawa nafsu, yang mana setiap kali diturutin permintaannya maka akan diperbudak olehnya,’’ tutur ayahnya kembali.
“Ohhh, begitu,’’ jawab Qulub singkat. Dia takjub dengan perkataan ayahnya.
“Lub, kamu sekarang sudah kelas 2 SMP, dan kamu sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kamu masih ingat pesan almarhumah ibumu?’’ ayahnya melanjutkan, namun nampak sedikit ragu.
Mendengar hal itu, kelopak mata Qulub langsung berkaca-kaca, seperti kaca yang sebentar lagi akan pecah dan membuyarkan semua air di dalamnya.
“Iya, yah. aku masih ingat,’’ jawab Qulub yang sudah tdak kuat menahan air matanya.’’
Nanti kalau ibu sudah pergi ke taman penuh bunga, makanan dan minuman enak, dan awan yang dapat ditempati, tolong kamu jadi anak yang bijaksana, baik, nurut sama orang tua, dan berbuat baik kepada orang lain, ya.
“Masa ibu sudah di sana kamu masih bikin ibu sedih lagi, khan lucu jadinya,’’ ucap ayahnya yang telah menumpahkan sedikit air matanya.
Mendengar hal itu, air mata qulub yang berusaha ditahan sekuat tenaga agar tidak tumpah, akhirnya mengalir deras seperti air terjun.
Ayah memeluk anak semata wayangnya itu, dan Qulub langsung membalas pelukan ayahnya dengan erat.
’’Ayah, aku minta maaf. Aku sering membuat kesalahan’’.
’’Sudah. Jangan terlalu bersedih, nanti ibu kamu juga ikut sedih’’.
’Aku minta maaf, Yah. Aku janji nggak akan mengulangi kesalahan lagi’’.
“Ingat, kesalahan datang karena kamu melakukannya dan kebaikan datang karena kamu memperbaikinya,” pesan ayahnya kemudian,
10 tahun kemudian…
Suara barisan orang sangat ramai. Ketikan keyboard komputer pun tak kalah berisiknya. Seseorang berlari masuk ke ruangan khusus.
’’Pak, ini ada perusahaan lain yang ingin minta tanda tangan kerja sama dengan perusahaan kita, Pak’’.
Kata pria tersebut sambil menyerahkan stopmap berisi berkas kepada bosnya.
’’Ya, sudah. Nanti saya tanda tangani’’.
’’Baik, Pak. Kalau begitu saya keluar dulu’’.
Pria itu sambil mengundurkan diri dari hadapan bosnya, sambil tersenyum dan memberi anggukan kepala.
Ia berjalan menuju jendela apartemen perusahaannya. Dipandanginya suasana Kota Metrapolitan itu sambil tersenyum dan berbisik lirih dalam hati: ibu bahagialah di sana. Jangan sedih lagi, karena aku sudah banyak membantu orang lain. Dan kepada ayah, terima kasih sudah sabar mendidikku selama ini. Kalian berdua bahagialah di sana.
Pria mda itu menitikkan air mata. Di sudut ruangan, nampak cermin besar berbentuk persegi panjang. Sebuah nama tertera dalam ukiran kayu di atas meja: Dr Ahmad Qulub SPd MPd. (*)








































