
KUDUS,Suaranahdliyin.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ansor Kudus mengatakan pesantren harus menjadi lingkungan yang aman, mendidik, dan bebas dari Kekerasan dalam bentuk apapun.
Demikian yang disampaikan Ketua LBH GP Ansor Kudus, H. Saiful Anas, S.H.dalam kegiatan talk show bertajuk Implementasi UU Perlindungan Anak bagi Pesantren di pondok pesantren Nasrul Ummah Mejobo, pekan lalu. Hadir sebagai pembicara, Advokat Yusuf Istanto, S.H., M.H.,.Kapolres Kudus AKBP Heru Dwi Purnomo, S.I.K., M.Si, ketua Rabithah Maahidil Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU ) Kudus KH.Khifni Nasif dan anggota DPRD Jawa Tengah Arif Wahyudi, S.H.
Ia memandang pesantren sebagai ruang belajar yang tidak hanya membekali agama, tetapi juga menjamin perlindungan hak-hak anak.
“Dari sini kita ingin membangun pemahaman dan komitmen kolektif terhadap perlindungan anak di lembaga pendidikan pesantren. Termasuk merumuskan langkah-langkah konkret dalam menerapkan Undang-Undang Perlindungan Anak secara kontekstual di lingkungan pesantren,”ujarnya .
Anas menilai pesantren memiliki kekhasan sebagai lembaga pendidikan yang sangat dekat dengan kehidupan santri sehari-hari, sehingga tanggung jawab dalam melindungi anak menjadi lebih besar. Dalam konteks ini, Anas menyoroti pentingnya kolaborasi antar pihak, mulai dari pengasuh, pendidik, hingga aparat penegak hukum.
“Moment kegiatan ini dapat memperkuat sinergi yang dibutuhkan untuk menciptakan sistem perlindungan yang efektif dan menyeluruh,”imbuhnya
“UU Perlindungan Anak, bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga tanggung jawab moral seluruh elemen masyarakat, termasuk pengelola pesantren. Talk show ini merupakan momentum untuk menyatukan semangat itu,”sambu Saiful Anas.
Acara ini juga merespons dinamika nasional terkait isu perlindungan anak di lingkungan pesantren. Kementerian Agama, melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 91 Tahun 2025, telah meluncurkan Peta Jalan Program Pengembangan Pesantren Ramah Anak. Dokumen ini menjadi acuan dalam pengembangan sistem pendidikan pesantren yang lebih inklusif dan berkeadilan bagi anak-anak.
“Ini bukan sekadar forum diskusi, tetapi juga menjadi ajakan terbuka bagi semua elemen pesantren untuk mulai mengevaluasi dan membenahi sistem pembinaan santri,”tandas Anas.
Melalui dialog yang terbuka dan berbasis solusi, Anas mengharapkan akan muncul praktik-praktik baik yang bisa diadopsi oleh pondok pesantren lainnya.
“Kami ingin pesantren tidak hanya dikenal karena kuatnya pendidikan agama, tapi juga karena keberpihakannya terhadap hak-hak anak,”harapnya.(adb/ros)