Negasikan Hukum Allah: Kafir, Zalim dan Fasiq

0
5003

Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM

Al-Quran adalah sumber hukum pertama dalam Islam. Sifat dari al-Quran menurut Sayidina Ali Ibnu Abi Thalib adalah:

ان القران ظاهره انيق وباطنه عميق لا تفنى عجاءبه ولا تنقضى غراءبه ولا تكشف الظلمات الابه. (Sesungguhnya al-Quran itu lahirnya indah, isinya dalam. Tidak akan habis keajaibannya, tidak selesai kegaribannya dan kesulitan tidak akan tersolusikan tanpa dia).  (Muchotob Hamzah, 2003)

Allah berfirman: Barangsiapa berhukum dengan selain hukum Allah, maka mereka adalah orang  kafir (QS.5: 44),  zalim (QS. 5: 45) dan fasiq (QS. 5: 47).

Menurut Ibnu Abbas, kekafiran yang dimaksud surat 5: 44, adalah kufrun duuna kufrin (At-Thabari 10/355), kufur tetapi tidak mengeluarkan pelakunya dari status keislaman. Misal: lain muslim yang kufur nikmat.

Syaikh Al-Utsaimin Al-Wahhabi menafsirkan: disebut kafir jika ia meyakini hukum Allah tidak tepat diterapkan. Disebut zalim ketika ia meyakini hukum Allah paling baik, tetapi karena sesuatu hal ia mengatakan bahwa hukum itu tidak tepat. Disebut fasik ketika ia meyakini hukum Allah yang terbaik, tetapi tidak ia terapkan (Al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid). Misalnya: gratifikasi.

Dalam pandangan sebagian ulama, hukum Allah di dalam al-Quran hanya 368 ayat:  (ibadah mahdhah 140; ahwal syahsiyah 70; perdata 70; pidana 30; hubungan dengan non muslim 25; peradilan 13; hubungan kaya-miskin 10; dan kenegaraan 10 ayat).

Total ada 5,8 % dari seluruh ayat al-Quran (Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul Fiqh. 1956, hlm. 34-5). Yang mengatur publik hanyalah 3,2% dari totalitas al-Quran untuk area hukum yang sedemikian luas.

Surat Al-Maidah 44 itu menegaskan, bahwa umat harus berhukum dengan al-Quran. Ia telah memberikan norma-norma hukum, bukan sistem hukum. Ia  sebagai ukuran (maat stat) bagi seluruh hukum dalam masyarakat baik hukum positif, moral, sosial, dan adat kebiasaan (Abdusshomad Buchori, MUI Jatim, 2015,121)

Norma hukum itu bersifat umum via statemen Nabi Muhammad: “Segala yang diperintahkan hendaklah dilakukan, dan segala yang dilarang hendaklah ditinggalkan.” (Bukhari 7288; Muslim 1337)

Statemen ini merupakan dasar minimum (algemeen minimum) bukan dasar maksimum (algemeen maximum), karena untuk menoleransi hukum di luar al-Quran yang akan mengatur ketertiban masyarakat, selama tidak bertentangan dengan perintah dan larangan-Nya.

Sebagai kitab terakhir (last testament), al-Quran haruslah saalihun likulli zamaanin wa makaanin (sesuai dengan zaman dan tempat). Oleh karenanya, maka ayat-ayatnya dapat dikategorikan menjadii dua.

Pertama, ayat tafsiliyah (rinci). Yaitu ayat yang mengatur karakter pokok manusia yang instinktif dan tak akan berubah seperti mencintai terhadap perempuan, anak-anak, harta dan sebagainya. (QS. 3: 14). Pernikahan (QS. 4: 3 dsb.). Waris (QS. 4: 12). Hutang piutang (QS. 2: 282), makanan dan minuman yang haram (QS 2: 173; 5: 90) dan sebagainya. Kecintaan itu terkadang berlebihan, sehingga menimbulkan sengketa bahkan peperangan.

Kedua, ayat ijmaliyah (global) yang relatif normatif dapat menampung setiap umat yang memiliki kiblatnya sendiri, dapat berlomba dalam kebaikan. (QS. 2: 148)

Dalam hal berlomba kebaikan inipun, sering ada misinterpretasi. Atas nama berlomba dalam kebaikan, ada yang tega dengan jalan yang tidak baik seperti menjegal kompetitor, ujaran kebencian, menipu dan seterusnya.

Contoh ayat yang bersifat global, adalah yang mengatur soal tata negara, pemerintahan, hubungan antarnegara dan lainnya. Norma hukumnya umum. Yang penting terciptanya hurriyyah (kemerdekaan), ‘adalah (keadilan), sawasiyah (kesetaraan), musyawarah (hak bicara dan berpendapat), dan mu’awanah (tolong menolong).

Satu contoh lagi, mode busana yang diserahkan kepada umat, selama tetap menutup aurat,  dan begitu seterusnya. Wallaahu a’lam bi al-shawaab. (*)

Dr KH Muchotob Hamzah MM,

Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.

Comments