
KUDUS,Suaranahdliyin.com – Dosen Fakultas Syariah UIN Sunan Kudus H. Shobirin menjadi pembicara Kajian Tematik dengan tema “Spiritual Fight Club: Taklukkan Diri Lewat Salat Jama’ah. di Pondok Pesantren MWC NU Jati Raudlatuth Tholibin Kudus, Sabtu malam (9/11/2025).
Dalam penyampaiannya, H. Shobirin yang juga Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) UiN Sunan Kudus menegaskan bahwa salat merupakan pusat kesadaran dan terapi ruhani bagi setiap muslim.
“Salat bukan sekadar gerak tubuh, tapi olah saraf otak dan olah saraf hati menuju Allah,” jelasnya di hadapan para santri.
Shobirin menyoroti fenomena banyaknya orang yang masih berbuat korupsi, tidak disiplin dan malas meski rajin salat. Menurutnya, bukan karena janji Allah yang keliru, melainkan karena cara salatnya belum benar.
“Kalau orang masih bisa berbuat korupsi padahal sudah salat, berarti salatnya baru di level gerak, belum sampai pada kesadaran ruhani,” tegasnya.
H. Shobirin menjelaskan bahwa salat memiliki tiga unsur utama yang saling berkaitan dan menentukan kedalaman spiritual seseorang..Pertama, meditasi yakni mengheningkan pikiran dan menghadirkan hati kepada Allah.
“Kedua sugesti, bahwa seluruh bacaan shalat merupakan afirmasi positif yang menguatkan jiwa,”terangnya.
Kemudian ketiga, kata dia, adalah gerak. Diuraikan, setiap posisi — rukuk, sujud, dan berdiri — bukan sekadar simbol ibadah, tetapi memiliki manfaat bioenergi yang menenangkan tubuh dan jiwa
“Tubuh yang salat dengan benar akan berbeda daya energinya dibanding yang tidak shalat,” ujarnya.
Lebih lanjut, H. Shobirin menegaskan bahwa salat yang baik adalah salat yang khusyuk, yaitu ketika saraf otak dan saraf hati bertemu pada satu titik kesadaran yakni Allah.
“Khusyuk adalah kerja sama antara saraf otak dan saraf hati dalam menghadap Allah,” tuturnya
Menurutnya, jika dilatih secara terus-menerus, salat yang khusyuk dapat menumbuhkan ketenangan luar biasa dan melahirkan ihsan, yakni perasaan selalu diawasi oleh Allah di setiap waktu. Selain itu, setiap bacaan dalam salat mengandung sugesti positif, terutama pada ayat “iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn” (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan).
“Santri perlu memahami makna bacaan salat agar hati tersambung dengan Allah. Bila hati hadir dalam salat, maka kesadaran positif juga hadir dalam kehidupan di luar salat,” paparnya.

Sementara itu, Pengasuh Ponpes MWC NU Jati, Adriyanto Mawardi, menyampaikan pesan mendalam tentang hakikat kehidupan pesantren; bahwa ruh pondok pesantren ada pada kegiatan ngaji setiap hari dan salat jamaah.
“Maka, pondok pesantren yang tidak ada ngaji dan salat jamaah berarti pondok tersebut mati, sebagaimana manusia tanpa ruh juga berarti mati.”ujarnya.
Ustaz Adriyanto menegaskan bahwa salat jama’ah adalah arena bagi santri untuk mendisiplinkan diri, baik secara ruh maupun jasmani.
“Melalui salat jama’ah, santri belajar tentang kebersamaan, ketertiban, dan keikhlasan dalam beribadah,”tandasnya.
Kajian tematik ini disambut antusias oleh para santri. Selain menjadi sarana memperdalam ilmu agama, kegiatan tersebut juga menjadi momentum untuk meneguhkan kembali makna salat sebagai pusat kesadaran, disiplin spiritual, dan terapi ruhani.
“Dengan tema yang aktual dan penyampaian yang menyejukkan, kegiatan ini diharapkan dapat terus membangkitkan semangat santri dalam menjadikan salat sebagai sumber ketenangan dan kekuatan hidup.”jelas ustaz Adriyanto.(adb/ros)







































