Oleh: Hasyim Asnawi
Ia bernama Vina (bukan nama sebenarnya-red), warga sebuah desa di Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Sudah dua tahun ini, ia bekerja di salah satu pabrik tekstil di Jepara, usai bercerai dengan suaminya. Kini, ia menjadi orang tua tunggal yang harus menanggung kebutuhan hidup anak dan ibunya.
Vina (24) menceritakan keputusannya bercerai dengan mantan suami lantaran tak kuasa menghadapi perilaku suaminya. Selama menikah, ia mengaku hubungan pernikahannya sering terjadi perselisihan.
Konflik rumah tangganya dimulai karena sang mantan suami tak punya kerja tetap. Sehingga ekonomi keluarga hanya ditanggung Vina sendiri. Ia ingat, sang mantan suami cuma suka main game hingga membiarkan Vina jatuh sakit.
Konflik mereka meruncing saat Vina mengalami keguguran anak pertama. Sang suami malah menyalahkannya. Mereka sempat berbaikan, tapi Vina akhirnya memutuskan untuk bercerai pada Juli 2019 lalu.
Puncak perselisihan di keluarga Vina itu terjadi ketika suaminya terus-terusan meminta uang kepada Vina. Hingga di satu malam, Vina yang menolak dan mempertahankan uangnya justru mendapatkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dari suaminya.
Sempat terjadi perdebatan panjang, malam itu Vina diseret masuk ke kamar untuk mengambil uang yang dimintanya. Vina sampai dipukul dengan tasbih. Kaki, perut, dan punggungnya pun diinjak. Sudah terbaring lemah, ia berusaha menutupi anaknya dengan selendang supaya tak melihat kejadian itu.
“Rasa sakitnya sampai membekas luar dalam,” kata Vina, menceritakan satu malam nahas yang menguatkan keputusannya bercerai, Senin malam (7/11).
Tekanan ekonomi, beban ganda perempuan pekerja dan KDRT tidak cuma dialami Vina. Ia jadi satu di antara statistika angka perceraian di Jepara yang belakangan makin tinggi.
Panitera Pengadilan Agama Jepara, Sodikin mengungkapkan angka tertinggi kasus perceraian di Jepara terjadi pada tahun pada tahun 2020, yakni 2213 kasus. Dari sekian ribu kasus, sebanyak 1685 penggugat cerai adalah perempuan. Hal tersebut juga dipengaruhi adanya pandemi Covid-19 yang berujung pada PHK masal karyawan pabrik serta terbatasnya akses di semua sektor kehidupan.
Sedangkan di dua tahun berikutnya, terjadi sedikit penurunan angka perceraian meskipun masih di kategorikan tinggi, yakni di angka 2163 kasus pada 2021 dan 1921 kasus pada tahun 2022.
“Persentasenya 70% penggugat dari istri dan 30% penggugat dari suami,” ungkap Sodikin, ditemui di kantor Pengadilan Agama Jepara, Rabu (26/10).
Tiga faktor terbesar penyebab tingginya angka perceraian di Jepara adalah adanya pertengkaran yang berujung pada KDRT, faktor ekonomi dan perselingkuhan atau pihak ketiga. Fakta ini menurut Sodikin tak hanya ditemui di Jepara saja, akan tetapi juga terjadi di tempat lain seperti di Semarang, Rembang, Kendal, Purwodadi dan kota/kabupaten lainnya.
“Di PA lain hampir sama penyebabnya, tiga faktor tersebut yang terbanyak,” tambahnya.
Dobrak Stigma “Janda”
Menurut Anis Machfudoh, aktivis perempuan dan kesetaraan gender Jepara, perceraian sendiri sebetulnya masih jadi hal tabu bagi masyarakat. Itu yang bikin, perempuan seperti Vina masih sering dapat stigma negatif karena menyandang status janda.
Di masyarakat patriarkal, posisi janda sering kali dikonstruksi sebagai sesuatu yang buruk, lemah, dan tidak baik. Narasi masyarakat, kata Anis, masih menyudutkan perempuan. Ketika posisi perempuan mempunyai pekerjaan (dan) pendapatan pasti, punya kuasa, kesannya meremehkan laki-laki.
“Padahal tidak seperti itu. Apalagi label janda distigmasisasi jadi sesuatu yang dianggap tabu. Ini kan sangat diskriminatif, kita masih anggap perceraian sesuatu yang jelek, kita perlu mulai dobrak stigma itu,” kata penggerak komunitas Kartini’s Up Jepara ini.
Menurutnya, ketika perceraian terjadi, beban pada perempuan sering kali lebih berat. Padahal, di saat bersamaaan mantan pasangan tersebut sama-sama memulai hidup baru. Julukan janda seringnya justru merendahkan pihak perempuan saja. Perempuan juga sering kali dianggap sebagai penyebab perceraian. Bahkan ketika mereka punya pendapatan lebih besar daripada suami.
“Tidak masalah jika pendapatan perempuan lebih besar, bukan berarti perempuan lebih superior, begitu pun sebaliknya. Jadi siapa pun perlu diedukasi bahwa tugas domestik dan bekerja adalah hal yang setara, yang mendukung produktivitas keluarga. Jika hal itu berhasil saya yakin tidak akan menimbulkan konflik dalam keluarga,” jelasnya, Jumat (21/10).
Di keluarga ekonomi kelas menengah ke bawah, konflik ini makin kompleks. Sebab, sering kali perempuan pekerja masih harus dibebani kewajiban tradisional istri, seperti tanggung jawab pekerjaan domestik: mengurus rumah, mengurus anak, dan memasak buat suami. Perempuan-perempuan pekerja di industri garmen dan tekstil, misalnya, adalah contoh nyata kasus tersebut.
Dosen Hukum Keluarga Islam UNISNU Jepara, Amrina Rosyada mengatakan bahwa kontruksi sosial begitu juga dilanggengkan kultur spiritual yang masih kental di tengah masyarakat. Sebab, perempuan masih identik dengan tugas macak, manak, dan masak. Perempuan yang bekerja di luar dan mandiri dianggap melawan “kodrat”-nya sebagai perempuan dalam konteks agama yang diyakini.
Cap negatif terhadap perempuan berstatus janda masih saja dilontarkan dari masyarakat. Hal itu yang terjadi kepada Vina ketika awal-awal perceraiannya. Perjuangan Vina dalam mencari kerja dan beradaptasi jadi orang tua tunggal pun tak mudah. Apalagi, ia mengaku mengalami usus buntu usai pertengkaran hebat dengan mantan suaminya malam itu.
“Sebulan setelah kejadian itu, karena butuh uang, saya melamar kerja sana-sini. Saya pernah diragukan karena saya orangnya lelet dan berstatus janda,” ungkap Vina.
Selain itu, lanjut Vina, ia sering menjadi dicemooh dan dijadikan bahan omongan lingkungan kerja, pertemanan dan tetangganya.
“Setiap hari saya yang jadi bahan omongan di semua tempat. Pernikahan saya dianggap gagal, faktor keturunan, dicap perempuan murahan, dan sebagainya,” ujarnya.
Pekerjaan apa saja Vina lakukan untuk menutup kebutuhan anak dan keluarganya. Dari jualan gorengan, packing masker hingga diterima di salah satu industri tekstil. Selama bekerja, anak perempuannya itu ia titipkan kepada ibu dan saudara-saudaranya.
“Terkadang saya was-was dan pikiran anak saya sehingga tidak fokus ketika bekerja. Tapi mau bagaimana lagi, jika saya titipkan ke pengasuh butuh biaya tambahan lagi,” kata Vina.
Jumlah pekerja perempuan di Jepara yang terus meningkat perlu didukung dengan support system yang positif, terutama ibu tunggal. Praktisi Forum Kesetaraan dan Keadilan Gender (FKKG) Jepara, Mayadina Rohmi Musfiroh berpendapat dukungan dari keluarga, tetangga, teman sebaya hingga rekan kerja sangat penting bagi ibu tunggal dalam menguatkan kiprahnya di dunia kerja.
Peran tokoh agama, organisasi masyarakat (ormas), pemerintah, media, dan pihak perusahaan harus proaktif dalam mendorong terciptanya ruang publik yang mendukung perempuan atau ibu tunggal yang bekerja.
“lni harus menjadi perhatian bersama. Mengkampanyekan program adil gender dan menguatkan support system bagi ibu tunggal, terutama dari keluarganya sendiri dan peer group-nya,” ujarnya. (*)