Angin perubahan bertiup di Saudi Arabia. Mohammed bin Salman (MBS), penguasa de facto yang mengudeta Muhammad bin Nayef atas titah bapaknya, Raja Salman, menggulirkan de Wahabisasi minus poltik monarki. Berbicara soal monarki, pantas saja kalau ada 20 pangeran yang potensial menjadi rivalnya di masa mendatang, ditangkap dan dipenjara.
Menurut Elliot House, jurnalis kondang yang tiga dekade banyak bergaul dengan bangsawan Saudi, menihilkan regulasi tertulis yang mengatur mekanisme dan kriteria pemilihan raja (VoA, Rabu 9/11). Sedang dalam keberagamaan, MBS mengadakan koreksi. Dus, menggulirkan liberalisasi yang menerjang fatwa-fatwa ulamanya.
I. Wahabi dan Kekuasaan
Meskipun pada awalnya Wahabisme merupakan gerakan agama, pseudo puritanian, pada akhirnya mereka terlibas dan terkooptasi oleh politik kekuasaan. Setelah gerakan ini berkolaborasi segi tiga, Muhammad bin Abdulwahab, Muhammad bin Saud dan Inggris, agama murni dijadikan alat legitimasi perang dan perebutan kekuasaan. Tentara Utsmani atau tangan panjangnya distigma kafir, musyrik, ahli bid’ah, karena untuk menyuntik tentara ikhwannya dengan suntikan patirasa agar semakin tega membunuh mereka.
Slogan kembali ke al-Quran dan Sunnah serta pemurnian Islam, nampaknya jauh panggang dari api. Kalau kembali Islam murni, mestinya tidak ada tradisi kudeta dan arogansi kekuasaan. Yang ada, tentu membangun Negara berketuhanan berbasis “Syura” ala Nabi Muhammad (QS. 42: 38; 3: 159). Bahkan sunnah fi’liyahnya menyontoh Nabi; tidak melanjutkan monarki raja Thalut, dan Nabi-nabi yang lain.
Ada sedikit regulasi buatan raja Saudi ke-6, Abdullah, yang disebut “Dewan Kesetiaan”. Tetapi pada tataran praksis, dewan ini sering diabaikan. Bahkan dengan ketus, Simon Henderson, direktur Program Teluk dan Energi di Institut Washington, menyatakan, bahwa “telah menjadi karakter kerajaan Saudi yang rajanya bisa melakukan apapun yang dikehendaki”.
Jadi, visi ekonomi Saudi 2030, seakan menjadi cap stempel keabsahan bagi MBS untuk menyengkeram Saudi sedalam-dalamnya. Siapapun yang ditengarai potensial menjadi rival, pasti akan dibabat habis. Biden, Trump dan menantunya sekalipun, disingkirkan dari hatinya ketika kepentingan politiknya terancam.
Dan yang mendapat keuntungan dari perseteruan ini adalah Vladimir Putin (The Guardian, 13/10/2022). Karena minyak yang menjadi “the greatest single prize in history” bagi Saudi, telah dapat ia mainkan bersama Putin dan Xi Jinping. AS dan Nato boleh berang, MBS telah semakin mapan.
II. De Wahabisasi ala MBS
Di mata MBS, Wahabisme adalah masa lalu, zaman old yang sudah ketinggalan zaman (out of date). MBS merevisi berbagai kebijakan pemerintah dan mengakui sebagai kesalahan masa lalu.
Maka, 1). Dia mengakui bahwa pendanaan untuk penyebaran ideologi Wahabisme (Wahabisasi) terhadap muslim global, adalah perintah AS dan Barat (Interview 75 menit media AS dengan MBS 22 Maret 2018); 2). MBS mengakui kejahatan Wahabi (Washington Post, https://youtu.be/E-Xkwks2dSw); 3). MBS menafikan tafsir tunggal Wahabisme terhadap al-Quran sebagai konstitusi Saudi (Interview media lokal, Jumat, 7 Mei 2021, 04: 15 WIB).
Selanjutnya, 4). MBS berkata, hari ini tidak boleh ada yang memaksakan tafsir tunggal di Saudi (The Atlantic dari Saudi Gazette); 5). MBS memenjarakan ulama Wahabi seperti Syaikh Abdullah Basfar (profesor di King Abdul Aziz University di Jeddah) karena memimpin salat di lapangan masjid Hagia Dophia Turki 2014; Syaikh Saud al Funaisan (profesor di Al-Imam University Riyadh) didakwa ekstremisme; Shalih at-Thabib karena mengkritik liberalisasi hubungan lelaki perempuan, musik dan lain dari kebijakan kerajaan; Syaikh Salman al-Awda September 2017, karena mengkritik hubungan luar negeri.
Uraian singkat di atas menegaskan, bahwa MBS nampak tengah menuju reformasi, minus politik monarki. Politik monarki manunggalitas Wahabisme-Saudisme-Inggris sejak awal bangunan Negara ini masih kokoh. Wallaahu a’lam. (*)
Dr KH Muchotob Hamzah,
Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.