Sinyal dari Dunia Digital Kita

0
1271

Oleh: Dr Muchotob Hamzah MM

Membaca hasil survek Microsoft pada Februari 2021 lalu tentang DCI (Digital Civility Index), bahwa warganet Indonesia memiliki keadaban ranking 29 dari 32 negara Asia. Sederhananya, netizen kita kurang beradab. Padahal tidak semua melahap konten hoax (berita bohong), hate speech (ujaran kebencian), scam (penipuan), fraud (pencurangan), trolling (pemantik kemarahan), hingga character assassination (pembunuhan karakter).

Tetapi adalah fakta, semua yang buruk-buruk itu, telah berseliweran di dunia maya kita. Mungkin benar juga analisis dari kordinator Kelompok Kerja Psikologi Moralitas Ikatan Psikologi Sosial Indonesia, Subhan El-Hafidz, bahwa pada dasarnya warganet Indonesia tidak separah itu. Sebab, meskipun di dunia maya mereka mengumbar omongan kasar, tidak demikian kalau ketemu di dunia nyata.

Betapapun itu, sinyal buruk telah menjadi kenyataan hubungan sosial kita. Konten-konten itu telah meracuni hubungan batin kita, ibarat api dalam sekam. Dari luar baik-baik saja, tetapi di dalamnya telah membara, tinggal menunggu menit atau jam untuk membakar sekitarnya.

Konten-konten itu juga telah menggerogoti kehidupan keberagamaan kita, khususnya umat Islam, yang menjadi mayoritas dari bangsa ini. Jangankan konten yang meluncur dari orang awam. Kita sudah tidak terkejut lagi kalau ada ungkapan kepada sesama muslim kata-kata “anjing neraka, kafir murakkab”, dan lainnya.

Padahal dahulu, para wali sangat hati-hati dalam mendakwahkan agamanya (QS. 16/125). Apakah salah kalau beliau mengetahui kekafiran, kemusyrikan dan kefasikan lalu beliau bilang: “Iku ora elok, ojo dilakoni (itu tidak baik, jangan dilakukan). Audiens dengan senang hati meninggalkan perbuatan itu tanpa dongkol hati. Kenapa beliau tidak katakan: “Wahai anjing neraka, jangan lakukan itu. Musyrik!!! Kafirrr!!! Laknat!!!” Saking hati-hatinya, kata-kata itu diubah dengan kata yang tidak mengandung konsekuansi hukum. Misalnya kita bilang: Hai Kafir!!! Kalau ternyata dia bukan kafir karena pandangan kita yang tergesa, apa jadinya.

Ini yang pernah terjadi antara Ibnu Taimiyah dengan Ahmad Ibnu Athaillah, Shahibul hikam. Beliau berdua yang semula tak sepaham dalam satu masalah, lalu setelah dialog secara baik, berakhir dengan kesepahaman.

Zaman old, Wali sangat tahu bahwa Indonesia saat itu sudah beradab sesuai keadaan. Sebagaimana Nabi kita mendapati umat jahiliyah yang relatif sudah beradab. Mereka sudah kenal antara lain menghormati tamu, bakti pada orang tua, kerabat dan kabilahnya.

Untuk menyempurnakan adab (akhlak) umat jua, Nabi Muhammad di utus ke muka bumi. Innamaa buitstu li utammima makaarima al akhlaaq.

Lalu dalam konteks zaman now, apa salahnya jika menyebut orang selain Islam dengan kata non muslim? Seperti jalan- jalan di Arabia yang ditulis: “Thariiqu ghairil muslimin”. Bukan: “Thariiqul Kaafiriin”.

Apa salah kalau seorang kiai memimpin doa di peringatan kemerdekaan lalu diawali: “Bagi saudara-saudara sesama muslim, saya akan pimpin doa ini. Bagi non muslim, silakan menyesuaikan diri”. Tidak lantas harus bilang: “Bagi muslim saya akan pimpin, bagi yang kafir silakan menyesuaikan”.

Pertanyaannya, apakah kemudian itu berarti akan mengganti al-Quran surat al-Kafirun menjadi “Yaa Ayyuhal non muslim?” Tidak juga! Kita tetap membaca sesuai teks aslinya, pada tempat dan waktunya.

Pada akhirnya, diakui atau tidak, konten-konten di dunia maya kita telah banyak membawa ke akhlaq al madzmumah (akhlak tercela), yang tercerabut dari akar agama (anomali akhlak). Padahal, akhlaq tanpa fondasi agama akan sangat rapuh bahkan sia-sia. Ini menyimpang dari tesis C. Denning: “Without religion there can be no morality, without morality there can be no law”.

Maka, butuh penyikapan atas realitas itu. Juga solusi-solusi, agar dunia maya kita memberikan banyak manfaat bagi umat, bukan malah sebaliknya. Wallaahu a’lam bi al-shawaab. (*)

Dr Muchotob Hamzah MM,

Penulis adalah Rektor Universitas Sains Al-Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo

Comments