Shiyam Menuju Hidup dalam Damai

0
739

Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM

Telah mafhum dari agama maupun riset psichologi, bahwa fitrah manusia adalah makhluk sosial (homo socius). Sikap sosial adalah primer, sedang brutal itu sekunder. Sejak kelahirannya, manusia butuh uluran tangan dari lingkungan sosialnya. Dukun bayi, bidan dan dokter dan terutama ibu yang melahirkannya.

Hidup dalam damai adalah dambaan setiap manusia. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala damai turunkan Islam. “Islam is the most peacefull religion in the world.” Islam adalah agama paling damai di dunia (Robert Mc Gee, UNESCO, Senin 4/7/2016).

Umat Islam berdamai dengan Allah (hablun minallah/ doctrines of the faith or religious system) dan berdamai dengan manusia tanpa konteks SARA (hablun minannas/ doctrines of the sway of the moslem). (QS.  3: 112).

Namun perjalanan umat manusia menuju hidup dalam damai, sungguh tak semulus apa yang dibayangkan. Ternyata banyak godaan baik berupa faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Ini karena nafsu manusia, bawaan lahirnya dihiasi dengan syahwat mencintai harta, tahta dan wanita (QS.3: 14), kemudian melampaui batas menjadi hawa nafsu. Kualitas syahwat dari hawa nafsu ini sudah  melebihi ambang wajar.

Imam As-Sya’bi dengan sanad yang sahih mengatakan:

انما سمي هوى لانه بهوى بصاحبه في النار.

Artnya: Dikatakannya hawa (hawa nafsu) sebab mendorong pemiliknya ke dalam neraka. Dari situlah pula ulama menjelaskan:

الهوى يعمى ويصم  ويبكم . يعمى من الحق فلا ينظر اليه الانسان. ويصم عن الحق فلا يسمع الحق. ويبكم عن الحق فلا يتكلم بالحق بسبب الهوى.

Artinya: hawa itu membutakan mata, menulikan telinga dan membungkam mulut. Membutakan  mata dari kebenaran yang sesuai dengan nalar manusia. Menulikan dari kebenaran dan seakan tidak mendengar yang benar. Membisukan mulut, sehingga tak mampu bicara benar (https://halakat.taimiah.org).

  1. Faktor intrinsik

Ketika hawa nafsu datang dari dirinya sendiri (intrinsik), Allah melalui Nabi Muhammad membimbingnya. Dengan akidahnya yang sederhana, “Laa Ilaaha illa Allah“. kata filosof Perancis, Jean Lheureux, Islam menundukkan manusia secara damai terhadap jiwanya (Al-Muslimun 151, hlm. 61-2).

Betapa tidak! Umat salafus-salih yang sedemikian militan di zaman Nabi Muhammad, siap mati di jalan Allah, takluk pada diktum hadis ini:

الصيام جنة فلا يرفث ولا يجهل وان امرؤ قاتله او شاتمه فليقل اني صاءم مرتين.

Artinya: shiyam (puasa) itu perisai. Maka jangan berbuat rafats (jorok) dan jangan berbuat jahil. Jika ada orang yang akan membunuhnya atau mencaci maki, katakanlah “Aku shiyam-aku shiyam”. (Bukhari no 1894; Muslim no 1151)

  1. Faktor ekstrinsik

Jika faktor ekstrinsik memicu dilema, maka apakah sikap umat boleh berubah, sembari berpegang prinsip damai yang tidak boleh berubah?

Bisa! Karena sikap damai adalah eternal, sedangkan sikap tidak damai adalah insidental. Damai adalah inheren dengan Islam dan tidak damai seperti perang adalah darurat (extra ordinary). Islam (damai) itu sebagai nama, norma dan performa.

Perubahan sikap ini, misalnya, terjadi ketika tentara Mekah bermaksud memerangi Madinah, (Ramadhan 2 H), sebulan setelah ayat kewajiban shiyam diturunkan. Demi hifdzuddin, hifdzunnafs dan seterusnya, maka umat menghadapi mereka dengan penuh semangat dan tawakal. Dan hadis Bukhari-Muslim di atas, tidak pernah diamandemen. Jadi prinsip damai tetap konstan dan tidak boleh berubah.

Apakah hadis itu bukan mengajarkan umat Islam untuk menjadi lemah di hadapan manusia? Tidak! Hadis itu mengajarkan umat agar melalui shiyam, memiliki kelemahlembutan dan sikap arif menghadapi manusia. Agar umat menikmati hidup dalam damai.

Dari semua tersebut, fakta berbicara, bahwa dunia internasional mengadopsi hukum dan akhlak dalam berperang dari Islam. Karena sesungguhnya, inti Islam adalah menghindari perang. Wallaahu a’lam bi al-ahawaab. (*)

Dr KH Muchotob Hamzah MM,

Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.

Comments