Klaim sebagai “Imam Besar Umat Islam” Diminta Dihentikan

0
1227
Foto: Akun FB Marzuki Wahid

CIREBON, Suaranahdliyin.com – Sebuah “catatan” menarik ditulis oleh cendekiawan Marzuki Wahid di Facebook (FB)-nya pada 17 Desember kemarin. Sebuah catatan merespons klaim tentang ‘’seorang tokoh’’ yang “menyebut” atau “disebut” sebagai “Imam Besar Umat Islam’’.

Marzuki Wahid dalam catatannya itu menulis, bahwa dalam beberapa tahun ini, kita sering membaca spanduk dan mendengar sebutan “Imam Besar Umat Islam”. Kita sudah maklum siapa yang menyebut dan disebut.

Dirinya mengaku, sepengetahuannya, tokoh yang menyebut dan disebut sebagai “Imam Besar Umat Islam” dulu hanya disebut “Imam Besar” dari organisasi yang dipimpinnya saja. “Belakangan berubah menjadi ‘Imam Besar Umat Islam’,” ujarnya.

Salah satu pengurus teras PP Lakpesdam PBNU ini pun menjelaskan, dirinya mengenal sebutan “imam” itu dalam tiga konteks.  Pertama, dikaitkan dengan kapasitas keilmuan keislaman yang mumpuni dan diakui oleh sejarah dari waktu ke waktu, seperti sebutan imam kepada Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas,  Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Imam Abu Hasan al-Asy’ari, dan Imam Ghazali.

“Kedua, imam sebagai sebutan bagi seseorang yang memimpin pelaksanaan salat. Yang diikuti disebut ‘imam’, sedang yang mengikuti salat imam dinamakan ‘makmum’. Ketiga, imam dalam tradisi Syi’ah, yang sematkan kepada orang yang dijadikan pemimpin, dipandang mumpuni secara keislaman, dan diyakini ma’shum (tidak berdosa). Antara lain sebutan imam untuk Imam Ali bin Abi Thalib, Imam Husein bin Ali, Imam Hasan bin Ali, Imam Ja’far bin Muhammad, serta Imam Khomeini,’’ lanjutnya menambahkan.

Tetapi menurutnya, para imam itu tidak pernah mendaku dan mengklaim sebagai imam umat Islam, apalagi imam besar umat Islam. “Julukan imam adalah pemberian murid-muridnya dan masyarakat yang mengikuti pendapat  (pandangan)keagamaannya. Disebut imam, karena masyarakat merasa menjadi makmumnya,’’ terangnya.

Di luar itu, jelas mudir (direktur) Ma’had Aly Kebon Jambu, Babakan, Ciwaringin, Cirebon tersebut, ada memang istilah “imamah” dalam fikih siyasah untuk menyebut kepemimpinan politik. Orang yang mimpin pemerintahan politik disebut imam. Tapi dalam kenyataan, jarang sekali sebutan imam digunakan.

“Dalam sejarah, pucuk kepemimpinan politik Islam disebut khalifah atau amirul mu’minin.  Belakangan beragam, ada negara yang menyebutnya malik (raja), sultan, amir, presiden, raja, dan lain-lain. Namun nyaris tidak ada yang menyebut dengan ‘imam’,” tegasnya yang mengaku ‘’menulis’’ catatannya lantaran ‘’terprovokasi’’ oleh challenge yang disampaikan Mohammad Sobary (Kang Sobary) saat memberikan restimoni tentang Gus Dur pada penutupan Temu Nasional Gusdurian (TUNAS) 2020 melalui zoom, 16 Desember lalu.

Imamnya Siapa?

Dikatakan oleh Marzuki Wahid, sebagai bagian dari umat Islam, ada yang bertanya, sejak kapan dan siapa yang mengangkatnya sebagai imam besar bagi umat Islam? Jika disebut “Imam Besar”, adakah “Imam-imam kecil” dari umat  Islam, baik di Indonesia maupun di dunia?

Disebutkan, adalah kenyataan tak terbantahkan, komponen umat Islam terbesar di Indonesia adalah organisasi NU dan Muhammadiyah yang didirikan jauh sebelum Indonesia merdeka. Pertanyaannya, apakah NU dan Muhammadiyah dan organisasi Islam lain seperti  Perti, al-Washliyah, Persis, Nahdlatul Wathan, DDII, dan Mathla’ul Anwar pernah mengangkat dan memberi mandat menjadi “Imam Besar Umat Islam” kepadanya?

“Setahu saya, yang mengangkatnya sebagai ‘Imam Besar Umat Islam’ hanya organisasi yang dia pimpin. Organisasinya berdiri pada tahun 2000-an, sekitar 20 tahun lalu. Jumlah anggotanya pun sama sekali tidak merepresentasikan jumlah umat Islam yang ratusan juta dalam naungan puluhan organisasi keislaman,’’ ungkap Marzuki Wahid.

Maka klaim ‘Imam Besar Umat Islam’ itu bersifat politis. Lebih tepatnya, politisasi umat Islam untuk kepentingan organisasi dan kelompoknya. ‘’Sungguh sangat tidak etis (bukan akhlak yang mulia) ‘umat Islam’ dibawa-bawa sebagai klaim untuk kepentingan kelompok dan organisasinya. Lebih-lebih, aspirasinya sering tidak sesuai dan bertentangan dengan aspirasi mayoritas umat Islam yang diklaimnya,’’ tandasnya.

Oleh karena itu, Marzuki Wahid dalam catatannya di akun FB-nya yang hingga Selasa (22/12/2020) pukul 13.21 WIB mendapatkan 210 like, 43 komentar dan 42 kali dibagikan,  pun meminta klaim atas nama “umat Islam” atau “Islam” hanya untuk memuluskan kepentingan kelompok atau organisasi tertentu, dihentikan. (*/ adb, ros, rid, luh)

Comments