- Ma’had ‘Aly TBS Kudus
Oleh: Prof. Dr. Ahmad Rofiq MA.
Sabtu, 20 Rajab 1439 H bertepatan dengan 7/4/2018 M, Saya mendapat kehormatan untuk ikut menyaksikan peyerahan Surat Keputusan (SK) Dirjen Pendidikan Islam, oleh Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kemenag RI, tentang izin penyelenggaraan Ma’had ‘Aly TBS dengan takhashush Ilmu Falak.
TBS memang unik. Kepanjangannya “tidak simetris” karena T diambil dari huruf “ta” dari kata “tasywiq” dan B diambil huruf terakhir kata “thullab”, bentuk jama’ dari kata “thalib” yang artinya murid, siswa, atau peserta didik dalam bahasa sekarang.
Seingat Saya, saat masih menjadi “santri”, huruf S itu singkatan dari kata “school” yang artinya sekolah atau madrasah. Dalam perjalanannya, huruf S ini diambil dari huruf “sin” dari kata salafiyah, yang artinya madrasah.
Kata “Tasywiqu th-Thullab Salafiyah” artinya “Bronto – atau intellectual curiousity- nya Santri yang berpendidikan Salafiyah”. Salafiyah juga dalam penggunaan keseharian berbeda dengan “Salafi”.
TBS merancang dan mengelola pendidikan meskipun pada dasarnya adalah madrasah formal atau klasikal, namun desain kurikulum dan tata kelolanya, mengikuti model pondok pesantren. Saya sendiri, belajar di TBS ini selama “tujuh” tahun dengan sistem dan model yang unik juga.
Setelah lulus SD dan MI di Kampung, didaftarkan di TBS. Test kemampuan dimulai dengan materi test kelas empat MI, hari itu juga diumumkan. Besok paginya, test kemampuan untuk kelas lima, siangnya langsung diumumkan. Berarti lolos kelas 5. Besok paginya diikutkan test kemampuan kelas enam, sayang belum beruntung. Akhirnya “harus” mengikuti pelajaran dari kelas lima.
Setelah satu semester, dievaluasi, dan ini yang menarik, Saya diperintahkan untuk “naik kelas” di pertengahan tahun, ke kelas enam. Pendek cerita, alhamdu liLlah, Saya dinyatakan mampu melewati kelas enam MI TBS dan lulus dengan mendapat peringkat satu. Saya menerima hadiah dan senang sekali, yakni kitab “Riyadlush Shalihin” dan “Sarung” yang hingga kini tidak terlupakan.
Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Saya selesaikan secara normal enam tahun. Namanya juga Salafiyah, kurikulumnya, dari MI ilmu nahwunya belajar Ajrumiyah – terkenalnya Jurumiyah – dan ‘Imrithy. Pada Tsanawiyah imu nahwu sudah harus menghafal nadham “Alfiyah” atau seribu nadham yang ditulis oleh Imam Ibnu Malik.
Di Madrasah Aiyah, ilmu nahwu sudah menggunakan Syarah (Komentar) atas Alfiyah Ibn Malik, yaitu Ibnu ‘Aqil. Saya tidak sebutkan semuanya, karena dengan kitab-kitab yang menjadi maraji’ pembelajaran ilmu Nahwu tersebut, sudah terbayang model dan sistem pendidikannya, dan seperti apa lulusannya. Maaf, ini bukan kalimat “kesombongan” karena insyaAllah, Saya tidak ada potongan “sombong”, apalagi ilmu saya sangat tidak seberapa.
Ma’had ‘Aly TBS, menurut data Direktorat PD Pontren emenag RI, adalah yang ke 27, dan memilih spesialisasi atau takhashshush Ilmu Falak. Maka, selain penyerahan SK, juga digelar Halaqah Falakiyah dengan tagline “Merawat Tradisi Menebar Innovasi”.
Selain karena alasan Ilmu Falak selama ini makin “langka” peminatnya. Bahkan Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, sejak ada program Beasiswa 5.000 Doktor di Kementerian Agama, distingsinya adalah menyiapkan Doktor Ilmu Falak.
Bahkan di tahun 2017, hanya terisi 7 mahasiswa. Untung saja Pascasarjana UIN Walisongo membuka konsentrasi baru Manajemen Halal dan Hukum Keluarga, jadinya “kuotanya” terpenuhi. Ma’had ‘Aly TBS juga pada saatnya akan menyuplai calon mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo tentu kalau sudah meluluskan.
Pada saat Saya masih di MTs, TBS sudah mengajarkan ilmu Falak dan di antaranya mengoperasikan rubu’ mujayyab. Di TBS sangat dikenal KH Turaihan Ajhury asy-Syarafy al-Falaky, ahli falak sangat terkenal di jagad Indonesia, terutama kalender atau almanak Menara Kudus yang khas. Juga ada KH Abdul Djalil Hamid, dan masih ada beberapa ahli falak lainnya.
Sebagai alumnus TBS, tidak ada kata lain kecuali mengapresiasi dan menyambut positif terselenggaranya Ma’had ‘Aly TBS ini. Kebetulan saya masih diamanati sebagai Direktur Pascasarjana UIN Walisongo, yang mengelola program doktor ilmu falak, kehadiran Ma’had ‘Aly bisa menjaid mitra.
Memang bagi program S1 Ilmu Falak Fakultas Syariah dan Hukum, bisa saja ditafsiri sebagai “pesaing baru”, apalagi dengan basik yang berbeda. UIN basiknya lebih variatif, sementara di TBS rasanya “wajib” berbasis pesantren. Maka tafsirnya, musti dengan kompromi atau “al-jam’u wa t-taufiq” atau menyatukan dan mengompromikan.
Dalam dunia bisnis, suatu “produk” semakin banyak produsen atau yang menjajakan, maka produk tersebut adalah produk yang menjadi kebutuhan penting. Karena itu, tidak perlu ada komentar yang tidak perlu, karena dunia pendidikan apalagi untuk menyiapkan ahli falak di dunia Indonesia ini, masih sangat diperlukan.
Kalau ada pertanyaan, apakah setelah ada lulusan Ma’had ‘Aly TBS yang ahli falak rasa astronom, apakah kemudian tidak ada lagi perbedaan dalam penentuan awal Ramadlan, awal Syawwal, dan awal Dzulhijah?
Ini pertanyaan kritis. Tetapi jawabnya tidak mudah. Karena ini seperti pertanyaan maaf, “apakah tambahnya lulusan Akpol, Akmil, dan Sarjana lainnya, akan berkorelasi menurunkan angka kriminalitas, gerakan separatis, atau problematika sosial lainnya”?
Soal penentuan awal bulan Qamariyah, di Indonesia, tampak indahnya justru karena ada perbedaan. Mengapa, karena “instrumen test” kematangan berdemokrasi dan bertoleransi tampak matang dengan perbedaan itu.
Dalam soal ibadah dan internal sesama kaum Muslim saja, bisa berjalan dengan baik, apalagi dengan penganut agama lain. Tentu ini, harus difahami dan dimaknai secara cerdas. Karena meskipun dalilnya sama, Al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan sumber dan rujukan sama, namun metode pemahamannya berbeda, akan menghasilkan rumusan atau formulasi hukum yang berbeda. Apalagi jika sudah ada pertimbangan di luar akademik dan keagamaan, maka tentu akan lebih variatif lagi.
MUI sudah menyosialisasikan kaidah yang sangat dikenal, “hukm al-hakim ilzam wa yarfa’u l-khilaf” artinya “putusan hukum pemerintah itu mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat”.
Itu teorinya, namun dalam kenyataannya, dengan dalih soal keyakinan karena terkait dengan amaliyah keagamaan, maka pemerintah juga tidak bisa memaksakan kehendaknya. Karena itu, tidak ada pilihan lain, kecuali merawat dan memelihara perbedaan tersebut, agar tetap menjadi rahmat dan kasih sayang.
Yang terakhir ini pun, didasari kaidah selain “ikhtilafu ummati rahmah” artinya “perbedaan pedapat ummatku adalah kasih sayang”, juga ada kaidah “man lam yasyumma raihata l-khilaf lam yasyumma raihata l-fiqh” artinya “barang siapa tidak mampu mencium aroma perbedaan pendapat, berarti ia tidak mampu mencium aroma fiqh”.
Yang terpenting kemudian, adalah bagaimana kita mampu melakukan “literasi” dan mendewasakan umat kita, agar makin terbiasa dan terbudaya dengan perbedaan, sehingga kesimpulannya adalah “sepakat dalam perbedaan” atau “berbeda dengan kesepakatan”.
Selamat Ma’had ‘Aly TBS, semoga Allah SWT. senantiasa melapangkan jalan “rizqimu” dan menggelar keberkahan padamu, untuk menyiapkan generasi Ahli Falak Rasa Astronom, atau Astronom yang Ahli Agama”. Selamat “merawat tradisi dan menebar innovasi”. Tekadmu dan kerja kerasmu, ditunggu umat. Jadilah yang terbaik dan paling memberi banyak manfaat. Sudah saatnya dari pondok pesantren, yang akan menjadi leader bangsa ini di masa depan. Allah a’lam bi sh-shawab. (*)
Prof. Dr. Ahmad Rofiq MA.,
Penulis adalah Direktur Pascasarjana UIN Walisongo Semarang. Tulisan ini dipublikasikan atas seizin penulis.