Oleh: Gus Moh Mujab
Dinamika dan problematika yang terus berkembang dan berubah-ubah, menuntut manusia untuk menyikapinya.
Yang jadi masalah adalah wahyu dan kenabian telah usai. Sementara tidak semua masalah yang ada sekarang ada pada zaman Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, sehingga kemudian orang-orang sepeninggal Baginda Nabi melakukan “hal-hal baru” (inovasi) menyikapi dinamika dan permasalahan tersebut. Sebagian besar tidak ada dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
“Hal-hal baru” dalam bahasa umum disebut bid’ah, yang kemudian diperdebatkan karena adanya hadis Nabi yang mengatakan “Kullu Bid’ah dlalalah”.
Tema ini adalah “Aktualisasi Bid’ah Hasanah”, sehingga untuk bisa masuk ke tema ini kita harus sudah selesai dengan perbedaan pendapat soal hadis “Kullu bidl’atin dlalalah” dan sepakat bahwa bid’ah hasanah adalah boleh, atau bahkan menurut hemat saya hukumnua wajib.
Mengapa saya katakan wajib, sebab ada beberapa argumentasi yang bisa dikemukakan di sini.
Bid’ah Hasanah Hukum Wajib
Bid’ah hasanah adalah istilah yang digunakan oleh para ulama fikih dalam mengklasifikasi macam-macam derevisikasi bid’ah.
Abu Nuaim dalam al-Hilyah, dan al-Baihaqi dalam Manaqib al-Syafii, meriwayatkan, bahwa imam Syafi’i mengatakan;
: [المحدثات من الأمور ضربان؛ أحدهما: ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا، فهذه بدعة الضلالة، والثانى: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul al-Bari mengemukakan;
[وكل ما لم يكن فى زمنه يسمى بدعة، لكن منها ما يكون حسنا، ومنها ما يكون بخلاف ذلك].
Menurut Ibnu Atsir dalam al-Nihayah di Gharibi al-Hadits, terma “Bid’ah Hasanah'” ini dilandasi dengan hadis Nabi,
«من سن سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها».
وقال فى ضده: «من سن سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها»
Itu diperkuat dengan pernyataan Amirul mukminin Umar bin Khattab, “نعمة البدعة؛ هذه”
Bid’ah hasanah semacam ini menurut hemat saya adalah wajib ‘aqliyan wa syar’iyyan’ (baik secara logika dan syariat).
Secara logika: Dunia dan problematikanya terus bergerak, menuntut manusia untuk terus melakukan inovasi. Dan ini tidak bisa tidak. Selama dunia ini masih berputar dan manusia masih hidup di dalamnya, maka akan selalu muncul masalah-masalah baru.
Secara Syariat, jelas, Izzudin bin Abdussalam, mengklasifikasi jenis hukum bid’ah menjadi lima: wajibah, mandubah, mubah, makruhah dan muharromah.
Tapi di sini saya akan mencoba menawarkan argumentasi baru. Sebelumnya saya akan menyitir bait-bait kasidah al-Hamziyyah, karya al-Bushiri.
جوزوا المسرح مثل ما جوزوا الم–سخ عليهم لو انهم فقهاء
هو الا ان يرفع الحكم بالح– كم وخلق فيه وامر سواء
ولحكم من الزمان انتهاء — ولحكم من الزمان ارتداء
Imam Ibnu Hajar al-Haitamy, dalam Syarahnya, Futuhu al-Makiyyah mengomentari bait ini.
Mengapa harus ada nasakh – mansukh atas sebuah syariat. Naskhahnya syariat Muhammadiyyah atas syariat Nabi-nabi sebelumnya. Dalam hal ini adalah Yahudi dan Nasrani? Bahwa itu menunjukan bahwa “Agama” itu ‘bukan tradisi”. Itu alasan yang dikatakannya.
Lebih lanjut, ada sebuah hadis yang akan saya kutip untuk mendukung pendapat saya berikut ini.
Rasulullah bersabda:
: “يبعث الله على رأس كل مائة سنة، من يجدد لهذه الأمة أمر دينها”.
Saya ingin menggarisbawahi diksi “yujaddid”. Berasal dari kata جدد، يجدد، تحديدا. Kata جدد ini memiliki kemiripan makna dengan حدث, بدع. Beda kata tapi sama maknanya: sinonim.
Dengan dasar inilah saya berani berpendapat bahwa Takdir, Tahdis dan Tabdi’ ini adalah sebuah keniscayaan yang hukumnya wajib secara syariat.
Tentu tajdid, tahdis dan Tabdi’ yang kita lakukan harus memiliki landasan hukum dan tidak bertentangan dengan syariat. “مما له أصل شرعي ولا يصادم او يختلف أصل شرعي”
Aktualisasi Bid’ah Hasanah
Berangkat dari realitas dan dinamika yang berkembang begitu cepat, juga dari hadis yang dikutip al-Suyuthi di atas, tajdid, tahdis dan tabdi’ merupakan suatu keharusan. Merupakan hajat manusia, bahkan bisa dikatakan dlarurat.
Di sini saya tidak akan membahas terlalu lebar aktualisasi bid’ah jasanah dalam Islam. Saya akan membatasi aktualisasi bid’ah hasanah di Nahdlatul Ulama (NU), baik struktural maupun kultural.
Di dalam tubuh struktur NU, Saya memandang sudah cukup baik. Baik di dalam pemikiran (tsaqafah) dan pemikiran organisasi (harakah).
Pada awal pendiriannya, kita mengenal dua tokoh sentral utama. Yakni Hadratussyeikh KH. M. Hasyim Asy’ari dan KH. A. Wahab Hasbullah. Mereka adalah mujaddid, muhadis, mubdi’. Pembaharu. Mendirikan organisasi NU sebagai wadah ahlussunah atau muslimin, suatu wadah yang tidak ada pada zaman Rasulullah.
Menjelang seratus tahun berikutnya, muncul tokoh baru di tubuh NU baik di Syuriah atau Tanfidziyah, antara lain KH. M. Sahal Mahfudz, KH. Maimoen Zubair dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
KH. Sahal Mahfudz dengan fikih sosialnya mampu menjawab problematika zaman. Sedangkan KH. Maimoen Zubair dengan ijtihadnya mampu mengompromikan dua aliran politik yang berseberangan; Nasionalis dan Agamis.
Lebih dari itu, KH. Maimoen seperti kita tahu dalam perkembangan fikih, adalah tokoh yang getol mendorong dirumuskannya pengambilan hukum dengan teori ilhak atau manhaji. (Lihat hasil Munas Ulama Lampung).
Tentu bukan hanya KH. Maimoen yang berjasa dengan itu. Tapi semua kiai-kiai NU yang ikut.
Belum lagi menyebut tokoh yang satu ini, Gus Dur, “Kiai Abdul Wahabnya” abad kedua NU. Kalau tidak Gus Dur, dengan segenap pemikiran dan pergerakannya saya kira NU akan hilang ditekan Orde Baru dan digerus zaman. Atau setidaknya, tidak akan ada pesantren yang tetap eksis dan kemudian berkembang maju seperti sekarang.
Apa-apa yang telah upayakan dan capai, juga gagasan pemikirannya tidak boleh berhenti sepeninggalnya. Gagasan mereka yang belum sempat terwujud harus direalisasikan, sembari terus melakukan gagasan baru sesuai tantangan zaman.
Ini yang saya maksud dengan bid’ah hasanah, yang perlu kita aktualisasikan kembali. Bukan bid’ah – bid’ah seperti “Rebo Wekasan” yang sering dipeributkan.
Terakhir saya ingin menutup dengan joke.
Tetangga sebelah sering bertanya, “Mengapa orang NU suka Bid’ah?”
“Ya iyalah. Lha wong “organisasi” NU sendiri itu kan ya Bid’ah.” (*)
Gus Moh Mujab,
Penulis puisi, cerpen dan buku di tengah aktivitasnya sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al-Yasir, Jekulo, Kudus.