
JAKARTA, Suaranahdliyin.com – Perihal boleh tidaknya umat Islam, menjadi ‘’polemik’’ di media massa. Terkait hal itu, Robikin Emhas, Ketua Tanfiziyah PBNU, menekankan pentingnya memahami dua hal.
Pertama, soal prinsip kebhinekaan. Dalam konsep kebhinekaan yang menjadi pilar kebangsaan kita, kemajemukan dalam masyarakat justru merupakan sumber kekuatan utama bangsa ini. Ini dulu frame dasar yang harus diinsyafi.
‘’Kedua, terkait prinsip toleransi. Hidup di tengah masyarakat yang majemuk, mensyaratkan pentingnya sikap lemah lembut, berlaku baik, saling menghormati, dan saling menghargai. Sikap yang mengedepankan pendekatan kemanusiaan semacam ini kemudian yang dikonsepsikan sebagai sikap toleransi,’’ jelasnya.
Dikatakannya, jika kita belajar sejarah mengenai akar kebudayaan bangsa, bisa disebut bahwa toleransi merupakan bagian inheren dalam jati diri bangsa Indonesia. Kehidupannya ada dalam jiwa Bhinneka Tunggal Ika.
‘’Berpuluh bahkan beratus tahun sebelum Indonesia merdeka, bangsa kita sudah beragam suku, budaya, dan agamanya. Tetapi para leluhur kita bisa hidup rukun, damai, dan saling welas asih sebagai sesama anak bangsa,’’ ungkapnya.
Pertanyaannya, kenapa sikap toleran demikian terpatri dalam jati diri bangsa Indonesia? ‘’Kita harus tahu, toleransi sesungguhnya juga bagian inheren dari ajaran agama kita. Islam mengenal konsep tasamuh, yang sering diterjemahkan sebagai sikap toleransi,’’ terangnya.
Secara umum sebagai sebuah ajaran, lanjutnya menambahkan, sikap toleran itu ada penjelasannya. Ada petunjuk-petunjuknya. Dalam hidup bermasyarakat orang harus sama-sama berlaku baik, lemah lembut, saling pemaaf, menghargai, dan seterusnya. Tetapi bagaimana berlaku baik itu, bagiamana bersikap lemah lembut itu, agama kan memberikan panduannya.
‘’Dari sini saya ingin masuk ke pertanyaan seputar Natal. Prinsip umum yang tidak boleh dilangkahi dalam menerapkan prinsip toleransi, saya kira jelas. Lakum diinukum wa liya diin. Bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami. Kalau sudah menyangkut akidah, tidak boleh kita pertukarkan,’’ tegasnya.
Terkait hal ini, kisahnya, suatu ketika beberapa orang kafir Quraisy menemui Nabi. Mereka menawarkan ide untuk saling bertoleransi kepada Nabi. Mereka berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu, dan kalian juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”
Maka, tuturnya, turunlah ayat, “Qul yaa ayyuhal kaafiruun. Laa a’budu maa ta’buduun” dan seterusnya. ‘’Jadi, toleransi itu dimensinya ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan), bukan ranah teologis. Kita cukup dengan menghargai apa yang umat agama lain lakukan dengan membiarkannya dan tidak berbuat keributan. Biarkanlah mereka lakukan apa yang mereka yakini, sedang kita fokus pada apa yang kita yakini. Itu intinya,’’ paparnya.
Terkait ucapan natal, ulama-ulama kita memiliki beberapa pendapat. Ada yang melarang karena khawatir mengganggu akidah, ada yang membolehkan dengan pengertian ucapan natal sebagai bagian dari kesadaran bermuamalah. Sekadar hormat kepada kawan atau berempati kepada sesama warga bangsa, itu dimensinya ukhuwah wathaniyah. Dalam dimensi itu, menyampaikan ucapan natal tidak mengganggu akidah.
‘’Pada konteks ini, saya sependapat dengan Syekh Yusuf Qardhawi. Menurutnya, boleh atau tidaknya ucapan selamat natal dari Muslim kepada Nasrani, itu dikembalikan kepada niatnya. Kalau berniat hanya untuk menghormati (berempati) kepada teman nasrani, maka tidak masalah,’’ katanya.
Maka, berbekal panduan dan batasan tersebut, apakah momentum natal bisa menjadi ajang mempererat dan mengikat tali kebangsaan, saya kira, iya. ‘’Akan tetapi, tentu tidak sebatas ucapan selamat natal. Saya lebih setuju dan mengimbau kepada semuanya, bahwa jauh lebih bernilai sebenarnya, apabila ada kemauan bersama para pemeluk agama yang berbeda, untuk membuka ruang dialog antarumat. Ruang-ruang dialogis sangat penting untuk terus menguatkan tali persatuan,’’ ujarnya. (rls/ adb, ros, gie, rid)