Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, lebih dari satu dasawarsa terakhir, Desember menjadi bulan yang cukup penting bagi publik di Indonesia secara umum, khususnya warga Nahdliyyin. Yakni, sebagai “bulan pengingat” dan “penebus rindu” saudara-saudara, sahabat, dan pengagumnya untuk “mengenang” KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Gus Dur, sosok yang wafat pada 30 Desember 2009 lalu itu, dikenal luas masyarakat, tidak hanya di tanah air, tetapi juga di lingkup global, dikenal sebagai tokoh besar yang telah memberikan kontribusi luar biasa bagi bangsa ini.
Kontribusi Gus Dur untuk bangsa –juga dunia- ini mewujud melalui pemikiran-pemikiran yang dituangkan dalam karya-karyanya, baik yang terbit di berbagai media massa (surat kabar, majalah dan lainnya), buku, maupun di ruang-ruang diskusi dan seminar-seminar.
Pemikiran Gus Dur pun mencakup beragam tema (isu) yang sangat beragam. Mulai dari kajian-kajian dan isu agama, pluralisme, hingga isu-isu kebangsaan. Beragam pemikiran Gus Dur, hingga sekarang masih manjadi kajian yang menarik banyak kalangan.
Spirit Literasi
Bagi para santri di Indonesia, Gus Dur adalah sosok yang sangat menarik dan penuh keteladanan. Di antara yang sangat penting untuk dipahami, yaitu betapa besarnya minat putera KH A Wahid Hasyim itu dalam bidang literasi.
Publik di tanah air sangat paham, betapa luar biasa tinggi kegemaran Gus Dur dalam membaca dan mengkaji berbagai isu (tema) sedari kecil. Sebuah kegemaran yang terawat dengan baik di berbagai tempat, khususnya waktu di Yogyakarta dan studi di Mesir.
Selain itu, sejak muda, cucu Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari itu juga dikenal sebagai kolumnis yang luar biasa produktif. Dan ulasan-ulasannya melalui karya-karyanya, selalu menarik masyarakat untuk menikmatinya.
Sedang beberapa karya Gus Dur yang terbit dalam bentuk buku, antara lain: Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan; Islam Kosmopolitan, Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan; Khazanah Kiai Bisri Syansuri; Kiai Nyentrik Membela Pemerintah; dan Menggerakkan Tradisi Pesantren.
Maka dalam momentum “Bulan Gus Dur” kali ini, satu hal yang mesti menjadi refleksi publik, khususnya para santri, adalah bagaimana menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan literasinya. Membaca dan menulis adalah dua hal, yang mesti dipupuk dan dikembangkan oleh para santri.
Untuk semangat dalam bidang membaca, para santri tidak perlu diragukan. Namun dalam hal menulis (berkarya), para santri masih perlu “suntikan semangat” agar mereka ikut berkontribusi dalam bidang penulisan.
Harus diakui, di bidang yang satu ini (menulis), para santri masih memerlukan motivasi dan mendapatkan pemahaman, bahwa di tengah “kesibukannya” mengkaji beragam kajian keilmuan di pesantren dan lainnya, menulis adalah hal yang tidak boleh dilupakan.
Dan Desember, yang belakangan juga dikenal publik tanah air sebagai “Bulan Gus Dur”, bisa menjadi momentum yang tepat untuk meneladani kiprah dan perjalanan Gus Dur, khususnya dalam bidang literasi. Wallahu a’lam. (*)
Rosidi, penulis adalah jurnalis Suaranahdliyin.com, staf pengajar dan mentor Cendekia Baznas MA Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus.