Sentolop gemerlap sanubari dalam diri setiap insan menandakan betapa riangnya anak adam dalam dimensi saumnya. Menjelajah spiritualitas dalam sanubari yang terhubung sang Ilahi dengan tekad unggul dalam pertempuran sejati antara nafsu dan ketaqwaan. Dalam cawan yang penuh kesucian ini, setiap jiwa yang dahaga atas kehadiran-Nya, berbondong-bondong menanti bungah dalam asmaraloka-Nya.
Asmaraloka, suatu dimensi cinta yang kekal nan suci, menjadi titik tumpu utama bagi setiap insan yang menanti presensi-Nya. Ketika bermiliar-miliar khalayak menahan diri akan nafsu makan dan minum dari menyingsing hingga melingsirnya surya, mereka menunjukkan dakwaan mereka kepada Ilahi.
Sejenak menadaburkan makramat-Nya, merefleksikan keagungan-Nya, dan memafhumi kehadiran-Nya yang tiada tara. Dalam kesenyapan gulita, ketika jagat diselimuti oleh temaram, qalbu-qalbu mencari nur-Nya yang abadi, seperti nur yang kemilau di asmaraloka.
Dalam nirmalanya Ramadan ini, menjadikan setiap anak adam untuk memperdalam dawai spiritual mereka dengan Ilahi melalui ibadah dan derma kebajikan. Dengan saum dan variasi ibadah, mereka menyucikan sukma, meraih keinsafan akan kefitrahan batiniah yang mencitrakan kesyahduan asmaraloka. Mereka berupaya meneladan kearifan dan kemurahan Ilahi, yang melimpahkan afwah-Nya kepada mereka yang bersedia menerima.
Atmosfer asmaraloka kemudian menghibahkan vista yang absah tentang hajat akhir dari safari rohani semasa Ramadan. Sebagaimana kabilah mematut-matut akhirat dan tujuan hidup mereka, mereka mendamba asmaraloka sebagai tujuan yang diikrarkan, lapak dimana kesucian dan kesentosaan abadi menanti mereka yang tekun dalam ketaatan.
Dalam ambisi mereka untuk mendekatkan diri kepada Ilahi semasa ramadan, mereka berupaya untuk menjangkau lapak ini, lapak dimana eksistensi-Nya sepenuhnya dirasakan dan dinikmati.
Dengan mendamba asmaraloka sang Ilahi dalam ramadan yang suci, setiap insan akan mendapatkan tawaran imaji yang mendaya cipta tentang kehadiran Ilahi yang kekal.
Ini merupakan lambaian untuk merenungkan keagungan-Nya dalam setiap subtansi kehidupan, untuk mengikuti iktibar-Nya dalam tindakan dan perilaku setiap insan, dan untuk memafhumi bahwa kemulian-Nya tiada tara. Dengan demikian, dalam setiap taraf para kabilah semasa ramadan, pada akhirnya dapat melakoni kedekatan dengan sang Ilahi. (*)
Sajjana Ayyidan Nauroh,
Penulis adalah santriyah Pesantren Literasi Prisma Quranuna Kudus dan mahasiswi Program Studi Pemikiran Politik Islam (Prodi PPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam (FDKI) IAIN Kudus.