Memahami Dua Macam Wasilah

0
978

Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM

Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Quran menyatakan:

الا لله الدين الخالص والذين اتخذوا من دونه اولياء مانعبدهم الا ليقربونا الى الله زلفى. ان الله يحكم بينهم فيما هم فيه يختلفون. ان الله لا يهدي من هو كاذب كفار.

Artinya: Ingatlah, milik Allah-lah agama yang  murni (dari syirik). Dan orang- orang yang mengambil pelindung selain Allah berkata: Kami tidak “menyembah” berhala, kecuali agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya. Sesungguhnya Allah akan mengadili mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada pendusta yang juga kufur (QS. 39: 3).

Ulama salaf telah menafsirkan ayat ini tanpa merobek keutuhan umat. Tafsir mereka, bahwa orang yang  “menyembah” selain Allah, baik sebagai wasilah apalagi ta’abbud kepada yang ditawasuli, adalah syirik akbar. Adapun berwasilah tanpa menyembah, jumhur tidak menghukumi musyrik, justru perintah umum yang syar’i (QS. 5: 35). Surah 39 ayat 3 fokus kepada orang jahiliyah yang “menyembah” berhala untuk mendekatkan kepada-Nya. Merekapun mengaku menyembah berhala. Ya musyrik “jali” banget.

Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab, menafsirkan ayat ini dan menjadi perpecahan serta kekerasan sesama umat Islam. Karena ketika ada orang Islam bertawasul meminta syafaat Nabi Muhammad, meskipun “tidak menyembah” yang ditawassuli, olehnya itu disamakan dengan menyembah seperti jahiliyah. Ayat yang mestinya distigmakan kepada kaum jahiliyah dilekatkan kepada kaum muslimin.

Memang, dalam hal sembahan dan mohonan ini, Islam hanya menoleransi satu tujuan, yaitu kepada Allah. Karena ibarat ada dua buah titik (titik Allah dan makhluk-Nya), tentu hanya ada satu garis lurus.

Hal sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran yang artinya:

“Kepada-Mu kami menyembah dan kepada-Mu kami memohon tolong” (QS. 1. 5).

اياك نعبد اى نخصك ونقصدك بالعبادة وهي الطاعة مع الخضوع. اياك نستعين اى ومنك نطلب المعونة.

Pada intinya: “Hanya” kepada-Mu (Allah) kami menyembah dan “hanya” kepada-Mu (Allah) kami meminta pertolongan (Al-Wahidi, Al-Wajiz fi Tafsir al-‘Aziz).

Jadi memohon sesuatu yang perogratif, itu hanya boleh kepada Allah. Bagaimana kalau  minta tolong sesamanya? Musyrikkah? Tidak! Karena itu adalah sunnatullah, bahkan diperintah oleh-Nya. Karena potensi menolong sebisa manusia itu sudah Allah berikan kepada manusia sebagai wasilah. Bagaimana dengan syafaat? Ia adalah wasilah juga (Syaikh Salih Fauzan, Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘Alal Aqidah At-Thahawiyah, hlm. 95).

Wasilah ada dua macam. 1). Hidup. Misalnya minta doa orang yang masih hidup. 2). Mati. Misalnya iman (QS. 23: 109), amal saleh tiga penghuni gua (Bukhari 2272; Muslim 2743), atau posisi Nabi sesudah wafatnya. Misal, orang yang membaca shalawat sekali dengan tujuan supaya Allah melimpahkan 10 shalawat kepadanya (Muslim 408). Atau salam kepada beliau di kubur, sehingga jawaban beliau berupa doa juga (Abu Dawud 1/570)

Maka, Nabi menoleransi umatnya berziarah kubur tanpa takut menjadi musyrik. Karena sejak orang bertauhid, tidak ada yang menyembah kuburan. Nabi tidak menghancurkan kuburan ketika beliau menghancurkan 360 berhala seputar Kakbah.

Berbeda dengan ISIS. Cara ISIS menghancurkan kubur Nabi Yunus atas dasar suudzan, bahwa kaum muslimin menyembah kubur adalah bid’ah. Memang wasilah yang akhir tersebut hukumnya bukan wajib, tetapi juga tidak salah.

Ulama sepakat untuk tidak meminta kepada selain Allah. Hal yang tidak mereka miliki. Seperti orang meminta surga kepada selain Allah. Maka bolehlah orang meminta syafaat kepada Rasulullah, yang Allah berikan kepada beliau. Atau membaca al-Quran dengan tujuan mendapat syafaatnya (Muslim 1337). Wallaahu a’lam. (*)

Dr KH Muchotob Hamzah MM,

Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.

Comments