Di Indonesia, dengan jumlah umat Islam yang besar tetapi masing-masing memiliki karakteristik berbeda-beda, tentunya dibutuhkan sikap moderasi dalam menjalankan ajaran agama, supaya terjalin kehidupan beragama yang harmonis di tengah kemajemukan yang ada.
Pentingnya moderasi itu, misalnya, sangat penting dalam konteks penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah. Sebut saja organisasi keagamaan dengan jumlah pengikut terbanyak yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang terkadang, tidak “satu suara” dalam penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah. Penguasaan dan pemahaman terhadap ilmu falak, menjadi ilmu yang sangat penting dalam merespons hal ini.
NU, meski tetap konsisten menggunakan hasil rukyah sebagai manhaj (metode) penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah, tetapi berdasarkan hasil Muktamar ke-34 di Lampung, kriteria hisab imkan al-rukyah yang digunakan sebagai dasar pembentukan Almanak Nahdlatul Ulama dan sebagai dasar penerimaan laporan rukyahul hilal dalam penentuan awal bulan hijriyah pada Kalender Hijriyah Nahdlatul Ulama (KHNU).
Maknanya, sudah ada upaya oleh NU untuk mengompromikan sekaligus memosisikan antara hisab dan rukyah, sebagai manhaj (metode) penetapan awal bulan hijriyah. Sedangkan Muhammadiyah masih konsinsten hanya menggunakan hisab astronomis sebagai manhaj penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah. Sehingga wajar apabila terjadi perbedaan dalam hal mengawali puasa serta ber-hari raya.
Belum lagi ditambah dengan munculnya kriteria hisab Imkan Rukyah Mabims Baru yaitu kriteria visibilitas hilal yang disepakati oleh 4 Menteri Agama yaitu Menteri Agama Brunei Darussalam, Menteri Agama Indonesia, Menteri Agama Malaysia dan Menteri Agama Singapura pada Desember 2021 lalu, yang merubah kesepakatan kriteria Imkan Rukyah Mabims Lama.
Tentu hal tersebut akan semakin mempertajam perbedaan dalam penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah antara Pemerintah RI, NU dan Muhammadiyah. Sebab, Muhammadiyyah selain hanya menggunakan hisab murni, juga memilih kriteria wujudul hilal sebagai satu-satunya kriteria penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah.
Sementara NU melalui Surat Keputusan (SK) Lembaga Falakiyah (LF) PBNU pada 31 Maret 2022 M dan Pemerintah RI melalui Surat Pemberitahuan dari Dirjen Bimas Islam pada 25 Februari 2022 M, sudah menerapkan kriteria Imkan Rukyah Baru (Mabims Baru) yaitu kriteria tinggi hilal minimal 3 derajat, dengan sudut elongasi minimal 6,4 derajat (3,6,4) sebagai salah satu kriteria penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah. Artinya setiap tahun jika tinggi hilal di atas ufuk tetapi kurang dari 3 derajat (antara +0 s/d +2,9 derajat), maka potensi perbedaan dalam mengawali puasa (Ramadan) atau pun hari raya (Idulfitri) akan selalu muncul.
Dari kemungkinan-kemungkinan adanya potensi munculnya perbedaan dalam hal mengawali puasa Ramadan atau pun dalam melaksanakan hari raya, nampak bahwa pangkal dari persoalan ini tidak sekadar antara hisab dan rukyah, tetapi juga muncul pihak ketiga, yaitu kriteria.
Bagi penganut hisab sendiri pun timbul beragam kriteria hisab, baik itu kriteria hisab wujudul hilal atau pun kriteria hisab Imkan Rukyah, juga dari sisi penganut rukyah bahwa tidak semua hasil rukyah dapat diterima tetapi juga dapat dianulir karena adanya parameter kriteria hisab Imkan Rukyah yang digunakan untuk memverifikasi laporan rukyah dari berbagai kelompok.
Maka dari itu, alangkah baik jika tidak lagi ada istilah yang dikotomis antara hisab dan rukyah. Sebab keduanya merupakan dua metode penentuan awal bulan hijriyah, yang mempunyai dasar hukum kuat. Dengan bahasa sederhana, secara epistemologis, keduanya dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan. Secara etimologis pun, seolah-olah kata “hisab” dan “rukyah” memang dua kata yang saling terkoneksi antara satu sama lain.
Artinya, dalam perenungan yang mendalam kegiatan menghitung atau hisab, itu bermula dari data-data astronomis yang tidak lain merupakan wujud dari hasil observasi atau rukyah selama bertahun-tahun. Sedang observasi Bulan atau rukyatul hilal sendiri tidak akan dapat terlaksana dengan baik dan maksimal, tanpa disertai hasil perhitungan atau hisab astronomis yang akurat.
Dari sini, jelas betapa penting sikap moderasi dalam (praktik) beragama. Sikap moderat harus dipupuk sejak dini. Edukasi terhadap masyarakat terkait ragam penentuan awal bulan hijriyah di Indonesia, khususnya di tiga bulan utama yaitu Ramadan, Syawal dan Zulhijjah menjadi penting, agar masyarakat tidak lagi was-was atau pun khawatir dalam mengawali puasa atau pun ber-hari raya.
Dalam konteks kenegaraan, perbedaan dalam mengawali puasa atau pun ber-hari raya nyatanya dilindungi oleh konstitusi yaitu mengacu pada pasal 29 ayat dua UUD 1945 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”.
Artinya, jika memilih agama apa saja dijamin oleh Undang-Undang, apalagi menjalankan ajaran agama dan persoalan mengawali puasa atau hari raya tidak lain merupakan realisasi dari menjalankan ajaran Islam itu sendiri. Meski faktanya, penyatuan atau penyeragaman selalu diupayakan, tetapi menghargai perbedaan harus selalu diutamakan.
KH Maimoen Zubair, salah satu ulama kharismatik asal Sarang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, memiliki pendapat menarik terkait hal ini. Dikatakannya, bahwa sebenarnya “perselisihan” (perbedaan pendapat) dalam penetapan awal Ramadan dan Syawal itu tidak perlu terjadi. Sebab, ketika pemerintah -dalam hal ini hakim yang diwakili Kementerian Agama telah mengumumkan penetapan awal bulan tersebut dengan metode apapun, maka semua masyarakat wajib mengikutinya. Walaupun metode itu berbeda dengan metode yang dipegangi kelompok tersebut. Karena pada dasarnya, hukmu al-hakim ilzamun wa yarfa’u al-khilaf (Hukum dari hakim itu mengikat dan menghilangkan perbedaan/ perselisihan).
Penjelasan KH. Maimoen Zubair ini demikian tegas, bahwa masyarakat Indonesia –dalam hal ini umat Islam- dalam konteks ptraktik keberagamaan di mana memerlukan kebijakan pengambilan keputusan dari lembaga yang otoritatif (pemerintah), lebih khusus lagi terkait awal Ramadan dan awal Syawal, maka harus mengikuti pemerintah.
Dan, dalam upaya memberikan pemahaman yang baik terhadap masyarakat luas, terkait selalu adanya potensi perbedaan penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah, maka hal yang tidak bisa dihindarkan adalah memberikan wawasan terhadap masyarakat terkait bidang (ilmu) falak.
Pemberian wawasan terkait ilmu falak ini penting, agar ada sikap memahami produk-produk hasil kajian falak ini bisa dipahami. Tidaklah mungkin seseorang bisa memahami sesuatu tanpa ia memahami terlebih dahulu. Hal itu bisa dilakukan melalui berbagai forum. Baik melalui kegiatan-kegiatan sekolah/ madrasah yang dirancang khusus untuk ini, atau melalui diskusi-diskusi dan seminar-seminar. Wallahu a’lam. (*)
Salim SAg MPd,
Penulis adalah kepala MTs NU Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus dan muhadlir Ma’had Aly Takhashshush Ilmu Falak pada Ma’had Aly TBS Kudus.
Catatan: Artikel ini dipublikasikan untuk kepentingan lomba, sehingga tidak dilakukan proses editing oleh pihak redaksi.