Pilkada Kabupaten Kudus dalam Potret Simulacra Jean Baudrillard

0
937

Oleh: Khifni Nasif

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Kudus 2024, tinggal menghitung hari. Pilkada Kudus ini akan berlangsung bersamaan dengan Pilkada di berbagai daerah di tanah air.

Di Kabupaten Kudus, dua kontestan dengan mesin politiknya, sudah “menggeber gas” untuk meraih simpati masyarakat yang terkenal “santri dan religious”.

Betapa tidak. Selain terkenal sebagai Kota Keretek, Kudus oleh Masyarakat luas dikenal dengan Kota Santri, lantaran selain banyak berdiri Industri Hasil Tembakau (IHT) atau yang umum dikenal pabrik rokok, juda ada ratusan pondok pesantren (Ponpes) dan juga ada dua makam Walisongo: Kanjeng Sunan Kudus dan Kanjeng Sunan Muria.

Dalam konteks kekinian di era global village, di mana perkembangan teknologi komunikasi dan informasi kian canggih, memungkinkan setiap orang menyebarkan dan menerima informasi secara cepat, baik untuk tujuan marketing maupun untuk membangun image branding, baik melalui media massa maupun jejaring sosial, kendati secara realitas, jauh dari realitas yang ada pada diri orang tersebut.

Masyarakat Kudus sendiri, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), per Maret 2023, tercatat sebanyak 66,04 persen penduduk berpendidikan SD ke bawah, pernah menggunakan telepon seluler atau komputer.

Sedangkan untuk penduduk yang berpendidikan SMP ke atasa, persentasenya jauh lebih besar lagi, yakni sebesar 93,15 persen.

Dengan besarnya pengguna telepon seluler dan komputer itu, potensi seseorang mengakses informasi dan melakukan branding image melalui perangkat teknologi informasi dan komunikasi, juga sangat besar.

Politik Pencitraan

Simulasi hampir selalu hadir di tengah-tengah kita, minimal bagi pemegang gadget yang selalu dimanjakan dengan iklan-iklan di media sosial, tak terkecuali dlam arena politik; simulasi selalu hadir.

Data di atas menjadi penanda, betapa tingginya masyarakat pengguna internet, sehingga para kontestan Pilkada tentu menggunakan media internet melalui beragam platform media digital, termasuk media sosial, untuk melakukan kampanye dan membangun image branding mereka.

Saat melakukan safari politik di berbagai kesempatan di kantung-kantung suara pemilihnya, misalnya pesantren dan jamaah pengajian, kontestan tentu ingin menunjukkan seolah mereka menjadi bagian dari santri atau kelompok masyarakat religious yang mereka kunjungi, meskipun di antara kontestan tersebut juga ada yang berasal dari kalangan elit dan bukan dari komunitas tempat-tempat yang mereka kunjungi.

Namun kita tidak bisa mengkritik tentang benar atau salah, riil atau imajiner, obyektif atau tidak, karena bagi Jean Baudrillard, simulasi bersembunyi di balik tanda, sehingga mempertanyakan itu seakan tidak lagi relevan karena seolah-olah sudah menjadi realitas itu sendiri. (Haryatmoko, 2015 : 80)

Ya, citra positif dan simpati massa, merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan tokoh publik -termasuk dalam perspektif politik- menjadi modal untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar; politik membutuhkan strategi-strategi untuk meraih simpati masyarakat melalui politik pencitraan.

Dalam konteks Pilkada di Kabupaten Kudus, -yang wilayahnya lazim dikenal religious– maka para kontestan yang ada pun mencoba membangun citra diri melalui media sosial, dengan “mencitrakan diri” sebagai sosok “santri” atau “orang religius”, sosok yang dekat dan peduli dengan ustza/ kiai, dengan membentuk persepsi publik.

Pencitraan diri sebagai sosok santri itu, juga diimplementasikan dalam visi-misi kedua calon, yang seakan “mencerminkan” bahwa kedua pasangan calon adalah sosok yang memiliki keberpihakan kepada komunitas-komunitas tersebut, misalnya melalui program peningkatan kesejahteraan guru swasta melalui honorarium kesejahteraan guru swasta (HKGS).

Sam’ani dan Bellinda

Pasangan nomor urut 1 dalam Pilkada Kabupaten Kudus 2024 adalah Sam’ani Intakoris – Bellinda Putri Sarbina Birton, yang menggunakan diksi “Santri” (Sam’ani dan Belinda Putri).

Sam’ani memiliki latar belakang birokrat. Dia pernah mejabat sebagai Kasi Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Sub Dinas Bina Marga DPUK Kudus, Kepala BPESDM, Plt Kepala Kantor Lingkungan Hidup, serta Plt Kepala Dinas Perdagangan dan Pengelolaan Pasar.

Ia lalu menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kudus, yang kemudian dimutasi menjadi kepala Arsip dan Perpustakaan Daerah (Arpusda).

Sedang Bellinda Putri Sarbina Birton (Bellinda) merupakan pendatang baru dalam kancah perpolitikan. Ia mendampingi Sam’ani sebagai calon wakil bupati (cawabup), yang dalam banyak kesempatan menegaskan siap mendidikasikan diri melayani masyarakat Kudus jika terpilih.

Siapa Bellinda? Dia adalah pengusaha kelahiran 1999 yang merupakan lulusan dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, putri dari pemilik perusahaan Berlian Jaya; perusahaan otobus yang cukup terkenal yaitu PO Berlian.

Pasangan Sam’ani dan Bellinda pun mencoba menarik simpati masyarakat Kabupaten Kudus dengan selalu turun ke komunitas-komunitas yang tak jauh dari lingkaran santri maupun image religious.

Janjinya dalam kampanye, antara lain meningkatkan kesejahteraan para guru yang mengajar di sekolah swasta dan madrasah diniyah (madin). Termasuk, di media sosialnya, tak jarang mengunggah konten saat sowan ke para kiai, yang terntu akan memberikan  kesan pasangat Sam’ani – Bellinda adalah benar-benar pasangan dengan latar belakang santri.

Hartopo dan Mawahib

Pasangan nomor urut 2 dalam Pilkada Kabupaten Kudus 2024 ini adalah pasangan Hartopo dan Mawahib. Pasangan ini mengenalkan diri sebagai pasangan “Berkah”, yang terkandung makna nilai-nilai religi dengan harapan akan membawa Kabupaten Kudus bertambah keberkahannya.

Pasangan ini, bagi publik di Kabupaten Kudus, adalah sosok-sosok yang tidak asing, bahkan sudah sangat familiar.

Hartopo memulai karier politiknya sebagai anggota DPRD Kabupaten Kudus pada 2014, lalu terpilih sebagai Wakil Bupati Kabupaten Kudus pada 2018, kemudian menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Bupati pada 2019 dan resmi menjabat Bupati dari 2021 hingga akhir masa jabatannya.

Sedang Mawahib mengawali karier politiknya sebagai anggota DPRD Kabupaten Kudus, dan terakhir menjadi anggota DRPD Provinsi Jawa Tengah. Sedang di organisasi, kiprahnya antara lain di GP Ansor,  Pembina Pagar Nusa Kudus, aktif di Petanesia dan Zahir Mania.

Pihaknya, dalam Pilkada Kabupaten Kudus 2024 ini, dalam visi minya juga memasukkan program kesejahteraan guru di sekolah swasta dan madin, juga turun ke berbagai komunitas atau kelompok Masyarakat, khususnya di kalangan santri.

Tentang Jean Baudrillard

Jean Baudrillard adalah ahli teori budaya, filsuf, komentator politik dan juga seorang fotografer kelahiran Prancis pada 27 Juli 1929.

Semula dia mempelajari bahasa Jerman di Sorbonne University, Paris hingga pernah menjadi penerjemah, dan kemudian melanjutkan studi di bidang filsafat dan sosiologi.

Dia merupakan salah satu filsuf dan tokoh postmodern, yang mencoba membongkar modernism. Pemikirannya memiliki pengaruh besar di berbagai bidang, termasuk studi media, teori budaya, dan sosiologi, serta menginspirasi banyak karya seni dan film. Pemikirannya yang terkenal antara lain simulasi dan hiperrealitas. (Jean Baudrillard, Penerjemah Sushela M. Nur, 2021 : 119)

Jean Baudrillard memberikan gambaran tentang fenomena masyarakat Post-modern. Dia menyebutnya dengan “masyarakat consumer” (Consumer Society). Fenomena-fenomena itu bisa kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari, di mana antara oposisi biner, penampilan dan kenyataan, simbol dan realitas melebur menjadi satu.

Dalam pandangannya, dunia telah dipenuhi imitasi, duplikasi, kode, simbol, dan permainan bebas tanda yang mengambang dan semakin kompleks.

Dalam tesisnya dia menyebut masyarakat consumer tidak hanya berpijak pada pemenuhan atas hasrat biologis untuk bertahan hidup saja, melainkan lebih dari itu, makna konsumsi merupakan serangkaian tanda yang mengandung symbol (signs), yang telah dikonstruksi sebagai pencitraan terhadap obyek yang tidak punya referensi dalam dunia nyata.

Untuk memahami fenomena masyarakat consumer, dia menawarkan konsep Simulacra, di mana kecenderungan masyarakat kontemporer adalah memalsukan atau mensimulasikan realitas. Maknanya, kenyataan telah digantikan dengan simulasi kenyataan, yang hanya diwakili oleh simbol dan tanda. Maka, siapa yang berhasil membangun persepsi paling kuat, dialah pemenangnya.

Persepsi ini, meskipun bukan kenyataan, namun telah diyakini sebagai kebenaran mutlak, dan pada saat itulah terjadi yang dipercayai sebagai sumber kebenaran, bukan realitas.

Simulacra dan Hiperrealitas

Realitas virtual pada interaksi manusia di era global, menurut Jean Baudrillard, menunjukkan bentuk simulacra. Dimana kondisi masyarakat sekarang merupakan representasi dari dunia simulasi, yaitu dunia yang dibentuk oleh berbagai hubungan tanda dan kode secara acak tanpa acuan jelas.

Dunia di mana kita tidak dapat membedakan secara tegas, mana yang asli, yang riil, yang palsu dan yang semu. Kesatuan dari berbagai realitas inilah, yang disebut Baudrillard sebagai Simulacra. (Elly M. Setiadi Dkk, 2021 : 50)

Dalam Bahasa sederhana bisa dipahami, Simulacra adalah representasi atau salinan dari sesuatu yang tidak lagi merujuk pada realitas atau aslinya, melainkan menjadi realitas tersendiri yang menggantikan atau menutupi yang asli.

Bagi Baudrillard, simulasi bukan lagi masalah meniru atau membuat duplikatnya, bukan pula suatu bentuk parodi, melainkan masalah menggantikan tanda-tanda riil yang kemudian justru diperlakukan seakan sebagai yang riil itu sendiri. (Yasraf Amir Piliang, 2001 : 25)

Jean Baudrillard mengembangkan empat tahapan simulacra, yaitu proses di mana representasi atau tiruan suatu obyek atau konsep semakin jauh dari realitas asli, hingga akhirnya menciptakan hyperreality -realitas baru yang sepenuhnya terputus dari kenyataan aslinya.

Elly M. Setiadi Dkk (2021 : 81) menulis, bahwa ada empat tahap pencitraan. Pertama, representasi. Citra merupakan cermin dari suatu realitas yang dalam. Pada tahap ini, simulacra masih setia pada kenyataan atau referensi aslinya. Misalnya, sebuah potret yang menggambarkan wajah seseorang atau peta yang menunjukkan wilayah tertentu. Pada tahap ini, ada keselarasan antara representasi dan obyek aslinya.

Kedua, citra menyembunyikan dan memalsukan suatu realitas yang dalam. Di tahap ini, simulacra mendistorsi kenyataan, tetapi masih berusaha menjaga kemiripan atau hubungan dengan obyek aslinya. Misal, ilustrasi kartun yang mengubah penampilan seseorang tetapi masih mempertahankan ciri utamanya.

Ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas, lalu citra bermain menjadi penampakannya. Pada tahap ini, simulacra berperan sebagai pengganti kenyataan; representasi menciptakan ilusi, sesuatu yang tidak nyata atau tidak ada itu benar-benar ada.

Misalnya reality show di televisi yang terlihat seperti kehidupan nyata, namun sebenarnya sangat direkayasa. Juga produk-produk yang dilabeli “alami” padahal telah melalui proses industri. Di sini, simulacra mulai menyamarkan kenyataan atau kekosongan di baliknya.

Keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apapun. Ia hanya menyerupai dirinya atau sudah masuk pada tatanan hyperreality. Di tahap ini, simulacra sepenuhnya terputus dari kenyataan, dan menjadi realitas baru yang berdiri sendiri. Pada tahap ini, simulacra tidak lagi memiliki hubungan dengan realitas mana pun, dan menjadi realitas yang dominan.

Misal, dunia virtual dan media sosial. Di mana identitas dan kehidupan yang ditampilkan kerap sangat berbeda dari kenyataan pengguna sebenarnya. Dunia virtual menciptakan pengalaman yang begitu nyata, hingga kita sulit membedakannya dari kenyataan.

Potret Simulacra Pilkada Kudus

Mengamati kontestasi dalam Pilkada Kabupaten Kudus 2024 dengan pijakan paradigma Jean Baudrillard tentang simulacra, maka setidaknya ada empat tahap proses simulasi yang bisa dimunculkan.

Pertama, representasi. Pada tahap ini, kita bisa melihat profil dan latar belakang masing-masing kontestan, sehingga bisa mengetahui realitas yang ada pada calon-calon yang ada.

Kedua: citra menyembunyikan dan memalsukan suatu realitas yang dalam. Dalam konteks ini, foto-foto kontestan yang sudah diedit atau video yang diberi sentuhan artistik, misalnya, yang mengesankan sosok “santri” atau “religious” serta masih nampak “nyata”, tetapi tidak sepenuhnya mencerminkan realitas tanpa modifikasi. Artinya, simulacra mengubah penampilan seseorang tetapi masih mempertahankan ciri-ciri utamanya.

Ketiga: citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas, lalu citra bermain menjadi penampakannya. Pada tahap ini, para kontestan, misalnya, membuat reality show atau konten-konten pribadi di media sosial yang terlihat seperti di kehidupan nyata tetapi, padahal sebenarnya adalah hasil direkayasa, dan hanya mempertahankan ilusi dari apa yang diinginkan publik. Di sini, simulacra mulai menyamarkan kenyataan atau kekosongan di baliknya.

Keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apapun, namun ia hanya menyerupai dirinya atau sudah masuk pada tatanan hyperreality.

Pada tahapan ini simulacra sepenuhnya terputus dari kenyataan dan menjadi realitas baru yang berdiri sendiri. Di tahap ini, simulacra tidak lagi memiliki hubungan dengan realitas mana pun, dan menjadi realitas yang dominan.

Di konteks ini, para kontestan mencoba meyakinkan publik, baik melalui media sosial maupun terjun langsung, kontestan benar-benar sosok “santri” atau “religious” yang dikehendaki publik. Untuk membuktikannya, para kontestan pun melontarkan janji-janji politik kepada publik.

yang berani mengumbar janji. Pada tahap terakhir ini disebut sebagai hyperreality, di mana simulasi lebih “nyata” atau berpengaruh bagi orang lain daripada realitas aslinya.

Akhirnya, dengan mencermati dan memahami tahapan proses simulasi Jean Baudrillard, kemudian melakukan penelusuran jejak digital para kontestan Pilkada Kabupaten Kudus 2024, maka akan memberikan pemahaman akan realitas diri para kontestan, sehingga kita tidak terjebak dalam hiperrealitas, dan bisa menentukan pilihan sesuai realitas dan kapabilitas masing-masing kontestan. Wallahu a’lam. (*)

Khifni Nasif,

Penulis adalah mahasiswa Islamic Studies pada Program Doktor di IAIN Kudus.

 

Comments