Pentingnya Kritis dalam Penelusuran Sejarah

0
213
Kiai M Aslim Akmal di nisan makam tua di Desa Kalicilik, Demak yang tengah diteliti/ Foto: dokumentasi pribadi

Oleh: Kiai M Aslim Akmal

Dalam setiap penelitian nisan-nisan antara abad 15-18 M, saya tidak pernah menyebut nama pemilik makam sebelum ada pemahaman yang jelas.

Di masyarakat kita, banyak sekali menamai makam dengan sebutan yang tidak jelas, seperti Mbah Timbul, Mbah Dero, Mbah Mesem, dan sebagainya. Biasanya nama-nama tersebut diperoleh secara tutur tinular dan turun-temurun tanpa mengetahui asal-usulnya.

Sejarah adalah tentang siapa, apa, bagaimana, dan seterusnya. Hal-hal seperti inilah yang menghilangkan daya kritis di masyarakat kita.

Baru-baru in, saya meneliti nisan di Kalicilik Demak. Tokoh penduduk setempat yang mendampingi menyebut nama Muntalib sebagai pemilik makam. Dia pun tidak mampu menjelaskan secara saintifik siapa dan bagaimana tentang Mbah Muntalib.

Saya bertanya kepadanya: “Bagaimana kalau saya menyebut itu adalah makam Raden Fatah, mengingat tipologi nisannya setipe dan sezaman dengan nisan Sunan Ampel?” (Dalam kronik Sejarah, Raden Fatah adalah murid Kanjeng Sunan Ampel yang dikirim ke Demak).

Sebagian masyarakat kita juga sering terjebak oleh statement sebutan makam auliya’ (wali) dan “cikal bakal”.

Pertanyaannya kemudian, mengapa mereka mudah sekali percaya dengan statement seperti itu? Mengapa daya kritis mereka hilang begitu saja oleh statement yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kejelasannya?

Tumpulnya daya kritis sebagian masyarakat seperti itulah yang dimanfaatkan kolonial, terutama Belanda, untuk membodohi bangsa kita. Akibatnya, sinkretisme mudah merasuki jiwa-jiwa dan pemikiran secara turun temurun.

Cerita tentang karomah (keramat) juga selalu menjadi bumbu penyedap dalam setiap penelitian. “Mbah ‘ini’ adalah murid kinasih dari Sunan Kudus yang memiliki kemampuan menembus bumi dan hilang dalam sekejap dari pandangan mata”. Mengapa dongeng seperti ini mereka sebut dengan karomah? Apakah mereka memang benar-benar tidak memahami arti dan makna karomah?

Ada dongeng seribu candi dibuat dalam satu malam. Ada pula membangun masjid dalam satu malam. Ada dongeng apa lagi?

Belajar sejarah yang sesungguhnya adalah tentang bagaimana mengambil ibrah atau pelajaran yang dapat diambil dari suatu peristiwa masa lampau.

Mengapa Sunan Kudus bisa digelari dengan bermacam-macam gelar besar, seperti Syaikhul Islam, Zainul Ulama wal Mujtahidin, al-Qadhi, dan seterusnya?

Mengapa Sunan Kudus dikenal waliyyul ‘ilmi? Mengapa Sunan Kudus memiliki peninggalan yang begitu megah (menara)? Mengapa Sunan Kudus dikenal sebagai wali yang kaya raya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang seharusnya dicaritemukan jawabannya.

Terkait hal itu, menarik sekali sebuah pitutur Jawa berikut untuk kita renungkan: “Sing wuto tuntuno, sing turu tangekno, sing ndoyong jejekno, sing alum siramono“.

Ya. Pitutur di atas berlaku kepada siapa pun tanpa memandang gelar, jabatan, dan gender. Mari belajar sejarah dengan sungguh-sungguh dan dengan jalur-jalur yang benar. (*)

Kiai M Aslim Akmal,

Adalah penulis yang lahir sekira 63 tahun silam. Cicit dari KH R Asnawi ini merupakan pegiat dan peneliti sejarah Walisongo (khususnya Sunan Kudus dan sejarah Kudus). Beberapa tahun belakangan, ia terlibat dalam penelitian penyebaran Islam dan hubungan antara Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa yang berbasis penelusuran sumber-sumber artefaktual dan aktivitas studi kawasan.

Comments