
KUDUS, Suaranahdliyin.com – Terbang papat merupakan warisan budaya tak benda milik Kabupaten Kudus yang sudah menjadi diakui oleh Rekor Muri. Kesenian religi yang sudah ada sejak tahun 1886 itu baru-baru ini hendak diangkat kembali menjadi warisan budaya yang asli dari Kudus yang mendunia.
Demikian itu disampaikan oleh Koordinator Kampung Budaya Piji Wetan, Muhammad Zaini ketika memantik diskusi Tapangeli yang bertajuk “Dinamika Terbang Papat, Mungkinkah Jadi Warisan Dunia”. Diskusi yang membahas mengenai kesenian religi tradisional yang sudah ada sejak lama.
“Terbang papat sudah diakui negara sebagai warisan budaya tak benda, selain Menara Kudus, Makam Sunan Muria dan Masjid Bubrah,” ujarnya memantik diskusi yang berlangsung di Sekretariat Tapangeli, Desa Piji Wetan Dawe Kudus, Sabtu (10/9).
Jessy menambahkan, terbang papat sebagai kesenian religi khas Kudus perlu terus dilestarikan oleh para generasi muda. Untuk itu, dirinya berharap kepada masyarakat Kudus dari berbagai bidang untuk turut serta mengalihmediakan dan mewacanakan terbang papat supaya lebih dikenal masyarakat luas.
“Akhir-akhir ini, tapangeli selalu direspon oleh banyak orang, sehingga upaya kami adalah bagaimana terbang papat ini supaya lebih dikenal luas dan tetap lestari, dengan penelusuran dan alihmedia berbagai bentuk,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi Terbang Papat Kudus, Kholid Syeif mengapresiasi gagasan yang ditawarkan oleh Komunitas Kampung Budaya Piji Wetan. Dia pun mendukung penuh harapan melestarikan terbang papat sebagai warisan budaya tak benda asli Kudus yang diakui dunia.
Kendati begitu, Kholid mengingatkan bahwa perlu ada penelitian dan pendalaman terkait literasi dan kesejarahan terbang papat supaya dapat terdengar di kancah internasional. Dengan dasar yang kuat, kata dia, upaya pelestarian terbang papat dapat berjalan seperti yang diharapkan.
“Supaya dikenal masyarakat luas dan tetap lestari, memang harus diumumkan, dimediakan sebagai seni religi milik Kudus,” ungkapnya.
Sejauh ini, sudah ada 130 grup terbang papat yang ada di Kabupaten Kudus. Pihaknya juga mengatakan bahwa rekor muri terbang papat yang diraih Kudus pada 2012 silam, berkat konsistensi dan kesungguhan para pelopor.
“Kami pernah mengadakan nabuh terbang papat selama 3 hari 2 malam kurang lebih 73 jam pada 15-17 Juli 2022 dan tercatat rekor muri sebagai Mahakarya Kebudayaan Internasional,” bebernya.
Untuk itu, dia pun berharap kesenian terbang papat ini tetap dilestarikan, terutama oleh para generasi muda melalui program edukasi, komunikasi, dan penabuhan terbang papat di event-event lokal yang ada di Kabupaten Kudus.
“Terbang papat ini punya tagline ‘Menebar sholawat menuai syafaat’, jadi saya harap ini tetap dilestarikan kepada anak cucu kita, bagaimana terbang papat yang asli itu, bagaimana strategi kota menyuarakan terbang papat supaya dikenal luas dan diakui baik tingkat nasional maupun internasional,” harapnya.
Menyinggung soal filosofi terbang papat sendiri, Ihsan selaku pegiat terbang papat Darussalam Piji Wetan, mengatakan kesenian tradisional tersebut mempunyai banyak filosofi. Salah satunya, filosofi empat papat limo pancer.
“Maksudnya, sedulur papat (terbangnya) limo pancer (jidurnya),” terangnya.
Terkait adanya wewangian dan menyan yang ditaruh di bawah jidur, lanjut Ihsan, itu hanya sebagai cara untuk menguri-nguri budaya leluhur yang sudah ada sejak lama, meskipun zaman sekarang ini jarang diterapkan.
“Jadi tidak ada unsur negatif, syirik dan sebagainya. Itu hanya tradisi zaman dulu, untuk nguri-nguri kebudayaan leluhur, jika tidak ada pun tidak masalah,” ujarnya. (Sim/adb)