Oleh: H. Hisyam Zamroni
Dalam sebuah kesempatan di momentum Idul Fitri (Lebaran), saya dan keluarga bersilturahim kepada Habib Hasan bin Ali bin Syihab Mayong, Jepara. Kesempatan itu sangat mengesankan, karena Habib Hasan (Rahimahullah) bercerita banyak tentang peran kiai dan ulama Jepara melawan penjajah Belanda di Bumi Kartini.
Beliau bercerita tentang sejarah Sepur (Kereta Api) dan Lapangan Terbang di Jepara -suatu saat akan saya tulis jika waktu luang. Dan yang mengejutkan, adalah saat beliau bercerita tentang RA. Kartini dari sisi perjuangan dan silsilahnya dari pihak ibu. Habib Hasan bahkan mengajak saya menziarahi makam para datuk RA. Kartini dari pihak ibu.
Seingatku, itu adalah Ahad pagi. Saya sowan kepada Habib Hasan bin Ali bersama Subur, salah seorang kawan yang kebetulan menjabat kepala MTs. Zumrotul Wildan Ngabul. Dan hari itu, adalah hari yang membahagiakan, karena bersama Habib Hasan, berkesempatan ziarah ke makam datuk RA. Kartini, tokoh feminis di tanah air.
Rute pertama adalah di belakang Masjid Abdul Aziz Pelemkerep, menziarah Makam Kiai Abdullah, ayah dari Nyai Siti Aminah (istri Kiai Madirono) yang tak lain adalah simbah dari RA. Kartini.
Selanjutkan, ziarah ke makam Kiai Irsyad, sahabat karib KH. Sholeh Darat, lalu ke makam Kiai Nawawi (santri Kiai Sholeh Darat yang mendapat ijazah Burdah langsung dari guru para ulama Nusantara itu).
Rute selanjutnya, ziarah ke makam Habib Ali bin Syihab. Dia adalah kiai yang mendapat ijazah Burdah dari gurunya, yaitu Kiai Nawawi yang mendapat sanad ijazah Burdah dari KH. Sholeh Darat. KH. Sholeh Darat sendiri merupakan salah satu guru dari RA. Kartini.
Usai ziarah dari Habib Ali, Habib Hasan mengajak ziarah ke makam datuk utama RA. Kartini, yaitu Kiai Wali Murshodo di Sowan Lor. Menziarahi makam Kiai Wali Murshodo tidak sulit, karena beliau adalah seorang wali yang masyhur di wilayah Kecamatan Kedung. Semasa saya duduk di bangku Madrasah Aliyah, juga sudah sering berziarah ke sini, lantaran banyak teman satu kelas yang berasal dari sekitar wilayah makam Wali Murshodo berada.
Kami pun menuju ke makam Kiai Wali Murshodo yang jarak tempuhnya dari Mayong sekira 30 menit. Makamnya terletak di perbatasan antara Desa Sowan Lor dengan Desa Dongos. Lokasinya masih cukup asri dan rindang oleh pepohonan.
Sesampai di makam Wali Murshodo, Habib Hasan langsung masuk ke dalam makam dan berziarah. Setelah itu, kemudian beliau menceritakan, bahwa Wali Murshodo adalah seorang pejuang yang sangat gigih saat melawan penjajah Belanda.
Diceritakannya, saat anaknya main layang-layang dan ada iring-iringan mobil Belanda dan layang-layang dianggap mengganggu karena menyangkut mobil penjajah, salah satu kaptennya marah dan menghardik bocah kecil itu. Bocah itu lapor kepada ayahnya, yang tak lain adalah Wali Murshodo. Mbah Wali pun menuju mobil penjajah Belanda, dengan berjalan di atas benang layangan yang tersangkut mobil itu. Melihat itu, Belanda pun pergi.
Habib Hasan menyebutkan, bahwa Wali Murshodo tak lain adalah datuk dari RA. Kartini. Wali Murshodo mempunyai putra bernama Kiai Abdullah, yang memiliki putri bernama Nyai Siti Aminah yang diperistri Kiai Madirono. Kiai Madirono memiliki putri bernama Nyai M.A. Ngasirah, yang tak lain adalah ibu kandung RMP. Sosrokartono dan RA. Kartini
Setelah bercerita tentang datuk-datuk RA. Kartini, selanjutnya ziarah ke makam Sultan Hadirin dan Ratu Kalinyamat. Pada kesempatan itu, kami bertemu dengan Kiai Masduqi Ridlwan (Wakil Rais Syuriah PCNU Jepara). Setelah tuntas ziarah ke makam datuk RA. Kartini dan datuknya masyarakat Jepara di Mantingan, kemudian transit di #RegolNgabul sejenak.
Sungguh, sebuah rihlah ilmu luar biasa. Di mana Habib Hasan berkenan bercerita tentang silsilah RA. Kartini dari sisi ibu, dan berkenan mengajak saya menziarahi makam para tokoh tersebut.
Sebuah catatan penting yang saya dapat, umumnya masyarakat melihat sosok RA. Kartini sebagai keturunan bangsawan; Adipati (Bupati). Jarang yang kemudian mengulas nasab (silsilah) RA. Kartini dari garis ibu, yang ternyata dari seorang waliyullah sekaligus pejuang yang gigih dalam melawan penjajah Belanda.
Maka bisa dipahami, bahwa perjuangan RA. Kartini dalam gerakan pemberdayaan perempuan, adalah ssebuah realitas, yang, secara geneologis maupun kecerdasan yang dimilikinya, bersinergi satu sama lain karena darah yang mengalir adalah darah seorang pejuang.
Dan metamorfosis gerakan yang dirintis oleh RA. Kartini bagi generasi sekarang ini, yakni bagaimana kita tanpa henti harus mampu meneruskan perjuangannya melalui inovasi-inovasi baru dalam rangka pengembangan gerakan dalam upaya menyejahterakan masyarakat. Selamat Hari Kartini. (*)
H. Hisyam Zamroni,
Penulis adalah wakil ketua PCNU Kabupaten Jepara