
KUDUS, Suaranahdliyin.com – Perihal sejarah Kiai Telingsing atau The Ling Sing terbilang rumit. Selain banyak versi, data dan fakta yang ada belum mencukupi untuk membuktikan sejarahnya secara utuh.
“Paling jauh mungkin kita hanya bisa menyebutnya sebagai legenda,” ujar Ketua Lesbumi PBNU KH.Ng.Agus Sunyoto dalam sarasehan dan ngaji budaya “Menggali Culture-Preneurship kyai Telingsing: Inspirator Sunan Kudus” di Aula Museum Jenang Gusjigang X-Building, Kamis (03/10/2019)
KH. Agus mencontohkan, simpang siur sejarah itu seperti halnya ada yang mengatakan bahwa Kerajaan Demak adalah perdikan Turki Utsmani. Padahal kalau ditelusuri melalui kitab-kitab manuskrip kuno tidak ada satu pun kitab yang ditulis berbahasa arab atau pegon.
“Sebanyak 6.508 naskah itu semua ditulis menggunakan aksara jawa,” tutur sejarawan NU ini.
Menurut Agus Sunyoto, ada dua Kiai Telingsing di Jawa. Yaitu, Kiai Telingsing gurunya Sunan Kudus dan Kiai Telingsing Gurunya Untung Suropati. Keduanya sama-sama keturunan China.
“Marcopolo mencatat singgah di Perlak. Dia ketemu dengan orang-orang China, semua bekerja sebagai pedagang, dan semua beragama Islam,” paparnya.
Penduduk pribumiasih menyembah batu-batuan ibadahnya di Gua. Ma Huan tahun 1433 M mencatat bahwa waktu itu penduduk pribumi masih kafir. Tidak ada yang berani masuk Pulau Jawa karena penduduknya ganas dan suka memangsa manusia.
“Sultan Al-Gabah mengirim 20.000 orang ke Jawa tapi semuanya mati di mangsa. Kemudian dikirim lagi, 4.000, tapi tinggal 200 tersisa. Semua ulama akhirnya dikerahkan, dan Syech Subakir satu-satunya yang berhasil menaklukkan,” sebut penulis Atlas Walisongo itu.

Syech Subakir, kata dia, memasang tumbal-tumbal untuk bisa menaklukkan tanah Jawa. Setelah semuanya selesai Syech Subakir kembali ke Persia. Setelah itu, muncul kerajaan Islam pertama di Lumajang, bukan Demak.
“Sebab, Arya Wiraraja saat itu sudah muslim. Buktinya dia punya makam, jadi bukan Hindu,” jelasnya.
Selanjutnya itu berkembang hingga era Walisongo datang. Mereka disebut sebagai Sunan atau Susuhunan sebab mereka adalah Guru Suci. Seluruh penduduk pantai utara dulunya adalah China Muslim.
“Sunan Sungging itu orang (keturunan) China. Kiai Telingsing yang menghubungkan Sunan Kudus sehingga mendapat putrinya Raden Husain Adipati Teroeng,” katanya.
Jadi sebenarnya, lanjut Agus, jiwa dagang orang Pantura sudah diwariskan orang China muslim zaman dulu. Karena tidak mungkin seorang wali, Sunan Kudus, yang notabene orang suci itu mengajarkan dagang.
“Di sini kita perlu memahami bahwa sejarah itu memang rumit,” bebernya.
Acara Sarasehan dan Ngaji Budaya ini diselenggarakan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Kudus bekerjama dengan Yayasan Pendidikan Islam kyai Telingsing Kudus dalam rangka gebyar Hari Santri Nasional (HSN) 2019.
Selain KH. Agus Sunyoto, hadir pula H. Hartopo (Plt. Bupati Kudus, Asmaji Muhtar (dosen Unsiq Wonosobo), H. M. Hilmy (Direktur Mubarok Food Cipta Delicia), dan H. Agus Nafi’ (Ketua Yayasan Sunan Telingsing).(rid, adb/ ros)