
Tadi malam, kita melingkar, melihat kembali dimana posisi kota sebenarnya? Lalu apa yang harus, penting, dan mendesak untuk dikerjakan.
Melihat Kudus dalam pusaran perubahan zaman yang begitu cepat, arah pergerakan Lesbumi PCNU Kudus harus terus dikalibrasi. Bukan sekadar agar tetap relevan secara program, tetapi agar tetap menyala sebagai lentera nilai dan spiritualituil dalam ruang publik yang kian pragmatis.
Di tengah tantangan inilah, penting bagi kita semua—penggerak budaya, santri, dan masyarakat Nahdliyin—untuk meneguhkan kembali Sapta Wikrama sebagai landasan ideologis dan strategis gerakan Lesbumi Kudus.
“Ini tidak sekadar konsep. Ini adalah roh yang menuntun arah gerak Lesbumi Kudus agar tidak kehilangan orientasi di tengah gemerlap industri budaya dan godaan populisme seni” ungkap Ketua Lesbumi Kudus.
Ketujuh prinsip yang terkandung di dalamnya menyatukan tradisi dan transformasi, nilai dan inovasi, spiritualitas dan estetik. Tentu, hal ini akan menjadi kompas moral dan metodologis yang membedakan Lesbumi dari lembaga budaya lainnya—karena ia bekerja bukan hanya dengan strategi, tetapi dengan kedalaman akhlak dan kesadaran sejarah.
Peneguhan kembali Sapta Wikrama bukan berarti kembali ke masa lalu secara statis. Justru, ini adalah proses pemantapan langkah ke depan dengan berpijak pada akar yang kuat. Di tengah berkembangnya budaya instan, Sapta Wikrama hadir sebagai pengingat bahwa kebudayaan adalah kerja panjang, kerja mendalam, dan kerja kolaboratif.
Ia menyatukan pelestarian dengan regenerasi, dan mengajarkan bahwa kebudayaan bukanlah benda mati, melainkan proses yang hidup dan terus bertransformasi.
Kita menyadari, banyak organisasi kebudayaan yang tumbuh namun kehilangan akar; ada pula yang kuat dalam nilai, tapi gagal menjangkau generasi muda. Lesbumi Kudus tidak boleh jatuh ke dalam dua lubang ini.
Sapta Wikrama harus dijadikan jembatan antara warisan ulama masa lalu dan semangat kreatif anak muda hari ini. Sebab, hanya dengan sinergi dua kekuatan inilah Lesbumi Kudus bisa benar-benar menjadi “penggerak budaya Islam Nusantara” yang berpengaruh dan bertahan lama.
Langkah konkret yang harus diambil antara lain adalah menjadikan Sapta Wikrama sebagai kurikulum internal dalam setiap pelatihan generasi Lesbumi, forum budaya, hingga penyusunan program kerja.
Hal baik ini harus hadir dalam dialog harian dan evaluasi rutin. Prinsip-prinsipnya—dari menjaga tradisi hingga membangun kolaborasi—perlu dijadikan parameter keberhasilan program, bukan sekadar jargon tempelan.
Selain itu, regenerasi kepemimpinan Lesbumi Kudus juga harus berlandaskan semangat Sapta Wikrama. Bukan sekadar mencari pengabdi Lesbumi yang mampu secara teknis, tapi yang juga memahami filosofi gerakan ini.
Kita tidak butuh penderma Lesbumi yang hanya mengejar popularitas di media sosial, tapi mereka yang sanggup menjadikan budaya sebagai jalan sunyi, dakwah, ibadah, serta pemberdayaan umat.
Saat ini, Kudus hidup di tengah banjir informasi dan distraksi visual yang tak berujung. Jika ghirah tidak memiliki arah yang jelas dan pondasi yang kuat, tentu bisa kehilangan esensi gerakan.
Maka, Sapta Wikrama harus menjadi sandaran dalam mengambil keputusan: apakah sebuah program sesuai nilai, berdampak jangka panjang, dan membawa berkah? Jika tidak, maka perlu ditinjau ulang.
Menarik juga untuk mulai mendokumentasikan praktik Sapta Wikrama dalam bentuk narasi dan karya. Bukan hanya program kerja, tapi juga pengalaman lapangan, keberhasilan lokal, dan dinamika internal.
Semua itu penting sebagai bahan refleksi dan pengembangan metode. Kita membutuhkan literatur internal agar semangat Sapta Wikrama tidak hanya hidup di lisan, tapi juga di tulisan.
Meneguhkan kembali Sapta Wikrama bukanlah proyek satu orang, tapi kerja kolektif. Ia membutuhkan niat baik, diskusi sehat, kritik yang membangun, dan keberanian untuk berubah.
Sebab, dalam dunia budaya, stagnasi adalah awal dari kepunahan. Maka tugas kita sekarang bukan hanya mempertahankan Lesbumi, tapi menghidupkannya kembali sebagai gerakan yang bernapas, bergerak, dan memberi harapan.
Lesbumi harus kembali menjadi rumah gagasan, laboratorium kreatif, dan panggung spiritual. Dan Sapta Wikrama—dengan tujuh keberanian dan kebijaksanaannya—adalah jalan pulang sekaligus jalan baru yang harus kita teguhkan bersama. Wallahu a’lam. (Muchammad Zaini, Penulis adalah Wakil Ketua Lesbumi PCNU Kabupaten Kudus).