Surat dari Regol Ngabul
“Kartini” di Jepara, Padam ataukah Mati?

0
1140
H. Hisyam Zamroni / wakil ketua PCNU Kabupaten Jepara

Oleh: H Hisyam Zamroni

Setiap tahun kita berbahagia merayakan Hari Kartini. Namun, perayaan itu nampak lebih sebagai upacara “seremonial” ketimbang pemaknaan “substansial”, yakni bagaimana meneladani dan mengaplikasikan “semangat pencerahan” Kartini dalam kehidupan nyata saat ini.

Perayaan Hari Kartini, ada atau pun tidak ada kajian akademiknya, di Kabupaten Jepara tetap dilangsungkan seremonial, karena secara kultural, 21 April adalah hari “keramatnya” masyarakat Jepara, yaitu serentak seluruh masyarakat Jepara merayakan Hari Kartini.

Pertanyaannya adalah, sudahkah Kabupaten Jepara benar-benar menjadi “Bumi Kartini”?

Seiring langkah dunia mengedepankan pola pendekatan “developmentalisme”, yang salah satunya adalah pengarusutamaan partisipasi perempuan menjadi bagian penting dalam “pembangunan” di berbagai negara, perempuan pun “menjelma” menjadi subyek sekaligus obyek pembangunan.

Yaitu bagaimana peran perempuan di dalam pembangunan, pada semua lini, harus “diikutkan” dan menjadi bagian tak terpisahkan dari relasi “apapun”, sehingga perempuan menjadi faktor penting, baik secara kuantitatif maupun kualitatif dalam pembangunan, seperti pemberdayaan peran perempuan di sektor publik, baik di lembaga swasta maupun negara.

Di sisi lain, pendekatan poskolonial menjadi sangat “digandrungi” dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan, di mana selama ini perempuan menjadi makhluk “subordinasi” dan “pinggiran”, yang hanya berperan di sektor “domestik”, bahkan “terkekang” secara kultural.

Kondisi demikian, menjadikan perempuan membutuhkan pemberdayaan secara sistematis dan berkelanjutan, dalam rangka “mendongkrak” peran perempuan ikut serta pada sektor “publik”, dan ikut menjadi penentu kebijakan-kebijakan publik seperti peran aktif  perempuan di lembaga-lembaga, baik swasta maupun negara.

Pertanyaannya, bagaimana dengan perempuan Jepara?

Jepara, sebagai ikon nasional lahirnya tokoh emansipasi perempuan nasional, bahkan dunia, melalui gerak emansipasi Kartini, mestinya memberikan “contoh” ataupun “percontohan”, di mana peran aktif perempuan boleh jadi seimbang, bahkan lebih daripada peran “laki-laki” di semua sektor, yang tidak hanya “terjebak” makna tekstual mengikuti regulasi “yang penting” terpenuhi “kuota” perempuan dalam peran aktifnya di ranah publik.

Ada yang menarik jika kita amati yang terlintas dalam pikiran: mengapa Jepara begitu “acuh” terhadap kepemimpinan perempuan? Adakah something wrong dalam memahami perempuan?

Perjuangan panjang mengikuti jejak dan cita cita Kartini di Jepara, membutuhkan keseriusan dan keberanian untuk mengubah mindset, baik karakter maupun kultural, di mana yang harus ditanamkan agar Jepara benar-benar menjadi Bumi Kartini dengan segala konsekuensinya, melalui pendekatan baik developmentalisme maupun poskolonial, bahkan shock culture, dan jika diperlukan menggunakan pendekatan “revolusi”, agar “Ke-Kartini-an” Jepara mewarnai pada sektor-sektor publik. Dan jika “berani”, masyarakat Jepara bisa “mengusung” perempuan menjadi penentu kebijakan utama dan pertama di Jepara.

Pertanyaannya kemudian, “bisakah”?

Menjadikan perempuan mempunyai peran “lebih” di Jepara, jika melihat “arus budaya” patrelenial yang ada -walaupun banyak orang menganggap danyange Jepara adalah wedok– membutuhkan keseriusan dan keberanian yang “muthlaq” alias tidak “megal-megol”, dengan mempersiapkan kader-kader perempuan yang mempunyai kapabilitas dan kompetensi mumpuni nan tangguh, karena harus mampu menerobos “sekat-sekat”, bahkan “tembok” patrelenial yang masih tertanam pada mindset dan budaya masyarakat.

Tak hanya sampai di situ. Jika cita-cita itu ingin terwujud, dibutuhkan juga secara internal seorang perempuan “bionic” dan “merdeka”, yaitu perempuan yang “landas-lepas” mencurahkan “membersamai” masyarakat; mungkin justru problematika terakhir ini yang sulit mencari.

Namun sesulit apapun, harus “dicoba” dan dipersiapkan secara sungguh-sungguh dan “ditanting”  sedari awal, sehingga upaya “meng-Kartini-kan Jepara “ora dadekno gelo” di kemudian hari, sehingga kepercayaan masyarakat yang sudah menggeliat, padam kembali.

Masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus kita selesaikan. Yang pasti, meng-Kartini-kan Jepara adalah tanggung-jawab kita semua. (*)

H Hisyam Zamroni,

Penulis adalah wakil ketua PCNU Kabupaten Jepara.

Comments