Indonesia merupakan negara yang kaya akan semuanya. Baik kaya akan budayanya, kaya akan sukunya, kaya akan bahasanya, kaya akan hasil alamnya, dan masih banyak lagi kekayaan yang tidak bisa disebutkan secara detail. Karena dari dulu, Indonesia selalu dipuja-puja dan menjadi incaran bangsa lain dengan berbagai macam kepentingan baik berupa kepentingan untuk mencari kekayaan – biasa disebut dengan semangat gold –, kepentingan untuk memperluas kekuasaan – biasa disebut dengan semangat glory –, dan atau semangat menyebarkan ideologi dalam beragama – biasa disebut dengan semangat gospel –. Inilah kepentingan penjelajah bangsa barat yang datang ke bumi Nusantara – nama Indonesia sebelum kemerdekaan republik Indonesia – dengan mengemban niat semangat motivasi 3G (Gold, Glory, dan Gospel).
Maka tak heran sampai saat ini, Indonesia merupakan salah satunegara impian para pelancong manca negara yang sangat diimpi-impikan keaneka ragamannya. Baik keaneka ragaman dari sudut geografis, sosial, maupun budayanya yang tersimpan didalam negara tercinta ini, yaitu Indonesia raya.
Sebagai warga Indonesia, khususnya para kaum muda. Marilah kita sebagai pemuda yang menjadi pundak negara menjadikan negara Indonesia ini sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai attitude kepada sesama warga negaranya. Marilah jadikan diri kita sebagai simbol kontekstual dari bhinneka tunggal ika yang menjadi moto atau semboyan bangsa Indonesia yang termaktub pada lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dalam sebuah syair disampaikan bahwa “syubbanul yaum rijaalul ghod” yang artinya pemuda hari ini adalah pemimpin dimasa depan. Maka dari itu, sebagai kaum muda penerus bangsa. Marilah kita persembahkan kepada bumi pertiwi ini, kepada tanah air ini, serta kepada bangsa Indonesia ini. Sebuah prestasi, sebuah dedikasi, dan sebuah komitmen paling terbaik demi menjaga negara kesatuan republik Indonesia ini. Marilah kita warnai peradaban Indonesia ini dengan peradaban sumber daya manusianya yang menjunjung tinggi nilai-nilai arif, menjunjung sopan santun yang beradab, dan mempunyai daya pengetahuan wawasan internasional. Sehingga kedepannya, para pemuda Indonesia mampu dan lebih siap untuk menjawab tantangan zaman di masa yang akan datang.
Penulis teringat dengan pesan syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, salah satu cendekiawan muslim era kontemporer yang berasal dari Mesir. Beliau menyampaikan bahwa: “Pemuda jika diibaratkan itu seperti matahari yang bersinar terang di siang hari”. Jika dipahami secara semantik, sinaran matahari yang bersinar terang di siang hari sangatlah menyengat, panas, dan juga sangat menyilaukan pandangan mata yang memandang. Sangking besarnya peran dan andil seorang pemuda bagi kemajuan peradaban suatu negara. Sampai-sampai syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengibaratkannya seperti sinaran matahari yang sedang bersinar terang di siang hari.
Wahai kaum muda, coba pikirkan dan renungkan bagaimana nasib negara ini dikemudian hari. Jika pemudanya hanya malas-malasan, bertindak secara hedonis, mempunyai tabiat sumbu pendek yang minim pengetahuan serta kesadaran akan sejarah atau historical consciousness. Pastilah negara ini akan hancur lebur, karena pemudanya sebagai penerus bangsa hanya mengedepankan hawa nafsu belaka. Dalam syair lagu karangan H. Rhoma Irama disampaikan bahwa, “Darah muda darahnya para remaja, Yang selalu merasa gagah tak pernah mau mengalah, Masa muda masa yang berapi-api, Yang maunya menang sendiri walau salah tak perduli darah muda…” itulah gambaran darah muda yang mengedepankan nafsu egonya saja.
Dalam tulisan singkat ini, penulis hendak mengajak kepada khalayak umum, khususnya kepada kaum mudanya. Untuk menjadikan diri kita sebagai simbol kontekstual dari bhinneka tunggal ika untuk menumbuhkan nilai-nilai moderasi dan toleransi di negara Indonesia yang sarat akan kemajemukannya. Penulis mengajak kepada diri pribadi dan juga kepada para pemuda Indonesia, marilah kita melihat dan meneladani sepak terjang salah satu sosok bapak pluralisme Indonesia serta bapak negara atau presiden ke empat Indonesia yaitu bapak KH. Abdurrahman Wahid atau akrab dengan nama panggilan Gus Dur. Marilah dari beliau, kita mengambil uswah secara fikrah, harakah, maupun secara ghirah perjuangan dalam pengabdian.Dari sosok beliau, kita semua dapat meniru, mengamalkan, maupun menyebar luaskan kepada masyarakat umum nilai-nilai toleransi dan moderasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi keutuhan negara tercinta, yaitu Indonesia raya.
Bapak KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, adalah salah satu putra Indonesia yang lahir di Jombang, 7 September 1940. Gus Dur merupakan putra dari KH.Wahid Hasyim yang merupakan seorang nasionalis yang pernah menjabat sebagai menteri negara dan juga pernah menjabat sebagai menteri agama pada pemerintahan orde lama.Gus Dur juga merupakan cucu dari KH. Hasyim Asy’ari, seorang tokoh terkemuka pendiri organisasi terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan juga sebagai pahlawan Indonesia.
Semasa hidupnya, Gus Dur merupakan sosok yang benar-benar memperhatikan, mengamalkan, serta menyebar luaskan nilai-nilai toleransi terhadap semua kalangan ditengah-tengah keberagaman umat bangsa ini. Maka amatlah wajar, jika sampai saat ini makam beliau selalu ramai dikunjungi oleh khalayak umum dari berbagai macam etnis di negara ini. Dalam sebuah filosofi kehidupan disampaikan, ‘jika macan mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, maka manusia mati meninggalkan nama’. Inilah gambaran tekstual yang tercermin dalam diri Gus Dur, nama beliau akan selalu dikenang dan harum di hati para pecintanya. Bagi para pecinta dan penganut setia beliau, biasanya memaklumatkan diri dengan sebutan ‘Gusdurian’.
Bapak KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, juga dikenal sebagai sosok bapak moderasi orang-orang Kong Hu Cu. Hal ini dikarenakan adanya pengakuan dari beliau ketika masih menjabat sebagai kepala negara Indonesiayang ke empat. Selain itu, beliau juga melegalkan dan membebaskan para warga Kong Hu Cu yang merupakan keturunan warga Cina agar dapat menjalankan dan menyemarakkan ibadah agama mereka secara bebas dan nyaman. Sebenarnya agama Kong Hu Cu telah lama berada di Indonesia sejak 5.000 tahun yang lalu, dan sudah diakui keberadaannya lewat Undang-Undang no. 1/ PNPS/ 1965 yang dikukuhkan dengan Undang-Undang no. 5 tahun 1969. Namun karena adanya rezim pemerintahan yang hasud, akhirnya gerak gerik agama Kong Hu Cu dibatasi. Setelah masuk masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid, pada tahun 2000 beliau memberikan hak wewenang dan keleluasaan secara kepada warga Kong Hu Cu agar dapatberibadah dan merayakan hari raya agama merekaseperti tahun baru Imlek, perayaan Cap Go Meh, perayaan Twan Yang dan perayaan agama lainnya secara layak. Inilah salah satu wujud moderasi yang dicontohkan beliau Gus Dur semasa hidupnya kepada masyarakat Indonesia. Semoga kita bisa meniru sepak terjang beliau dan meneladani kiprah beliau baik dari segi fikrah, harakah, maupun ghirah dalam menyebarkan nilai-nilai rahmah untuk keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga kesalehan moderasi yang kita koar-koarkan tidak hanya sekedar berhenti dalam kerongkongan, berhenti dalam tulisan, dan berhenti dalam status media sosial. Akan tetapi kesalehan moderasi yang kita kaji dan koar-koarkan, memang benar-benar bisa dibuktikan secara tindakan nyata dalam kehidupan ini. Hingga orientasinya kita bisa menjadi bagian dari generasi Gus Dur muda yang sarat akan jiwa moderasinya.
Meskipun demikian, terkadang pemikiran Gus Duryang dituangkan dalam tulisan, yang diungkapan secara lisan maupun dalam tindakan selalu terkesan nyentrik disemua kalangan. Namun, dari situlah gelagat yang terlahir dari beliau mampu menyihir dan membuat orang lain bertanya-tanya, ‘apa sebenarnya makna intrinsik pemikiran beliau yang hendak disampaikan kepada masyarakat majemuk ini?’. Pemikiran beliau selalu mencerminkan nilai-nilai moderat, tidak mengkhususkan golongan, ras, suku maupun agama dari masyarakat tertentu. Penulis teringat kalam beliau yang berbunyi, ‘Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak tanya apa agamamu’. Dari kalam beliau ini, penulis sangatlah termotivasi. Ghirah nasionalismepenulis terasa terbakar api keharmonisan dan api perdamaian.
Melalui tulisan ini, penulis mengajak kepada masyarakat Indonesia semuanya, khususnya para pemudanya agar mampu mengemban dan mewujudkan cita-cita bapak KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Marilah ciptakan kehidupan negara yang ramah, bukan kehidupan negara yang marah. Menciptakan negara yang harmonis, bukan negara yang anarkis. Menjadikan negara yang mengedepankan nilai-nilai etika, bukan negara yang mengedepankan nafsu semata. Menjadi negara yang selalu mempunyai nilai esensi, bukan sekedar negara yang bersifat hedonisasi. Untuk itu mari wujudkan semboyan negara kita ini, yaitu bhinneka tunggal ika. Marilah wujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekedar dalam status media maya.
Wahai anak bumi pertiwi, kita semua adalah syubbanul yaum rijaalul ghod. Yang artinya pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan. Marilah kita semua, khususnya para pemuda Indonesia. Ikut andil menciptakan pemimpin masa depan yang mempunyai perangai seperti sang surya yang menyinari dunia. Seperti sang rembulan yang bersinar terang dalam gulita malam. Dan menjadi bintang yang selalu setia menghiasi dan menemani langit di malam hari. Untuk ituibdak binafsik, marilah kita mulai dari diri sendiri untuk menanamkan dan menumbuhkan rasa toleran dan moderasi yang tinggi pada negara yang majemuk ini. Bapak KH. Abdurrahman Wahid berpesan, ‘bukalah hatimu dan bertindaklah dengan jujur’. Marilah kita semua membuka hati, pikiran, mata, juga ucapan. Mulailah bertindak jujur yang menjadikan negara makmur, bukan jujur yang menyebabkan hancur lebur.
Dalam ajaran Islam, kita sebagai kaum muslim dituntut agar bisa menjadi miniatur dari konsep rahmatan lil ‘alamin. Menjadi muslim yang setiap hembusan langkahnya selalu ngademin, bukan yang suka manas-manasin. Ibdak binafsik, marilah kita jadikan diri ini sebagai asas bhinneka tunggal ika yang terlaksana, terealisasi, dan terjunjung tinggi eksistensinya. Sebab, dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia. Maka dari itu, marilah kita tanamkan dan wujudkan asas bhinneka tunggal ika dalam diri kita ini, pada kemajemukan negara ini. Sebagai insan yang berjiwa toleransi, ta’awun, serta mengedepankan rasa local wisdom.
Bapak KH. Abdurrahman Wahid berpesan, ‘Islam di Indonesia itu timbul dari basis kebudayaan. Jika itu dihilangkan, maka kemungkinannya ada dua, yaitu pertama kebudayaan akan mati, kedua Islam akan hancur. Pesan saya, jadilah pemikir yang sehat.Dari sudut agama, saya ingin mengingatkan, agar ketidaksenangan kita terhadap seseorang atau suatu kaum jangan sampai menyebabkan kita berlaku tidak adil dalam memutuskan sesuatu. Sebuah masyarakat tanpa spritualitas hanyalah akan berujung pada penindasan, ketidakadilan, pemerasan, dan perkosaan, atas hak-hak asasi warganya’. Didalam hadis nabi disampaikan, ‘Ikhtilafu ummatii rahmatun; perbedaan umatku adalah rahmat’. Maka dari itu, ibdak binafsik. Mari kita mulai kebaikan toleransi, kebaikan bermoderasi dari mulai diri kita sendiri. Mari kobarkan semangat perdamaian, semangat kasih sayang antar sesama, semangat perjuangan demi menggapai peradaban kesatuan Indonesia yang lebih unggul dan mempunyai daya saing.Wallahu a’lam bishshowab. (*)
Fikri Hailal
Penulis adalah kelahiran Fakfak, Irian Jaya, 05 November 1997. Tempat tinggal di Rt 6/2 Bonang Rejo, Bonang, Demak. Domisili sekarang Pondok Pesantren LSQ Ar-Rahmah, 8, Wirokerten, Jl. Imogiri Tim. No. Km, Rw. 5, Tamanan, Bantul, Yogyakarta 55191. No WA 085945622952
CATATAN : Artikel ini dipublikasikan untuk kepentingan lomba, sehingga tidak dilakukan proses editing oleh pihak redaksi.