
SEMARANG, Suaranahdliyin.com – Survei daring dilakukan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng melaluo Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif NU Jateng, merespons gagasan Mendikbud Nadiem Makarim yang sempat mengemuka, yakni menjadikan permanen Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Pengurus Bidang Diklat dan Litbang LP Ma’arif PWNU Jateng, Hamidulloh Ibda, Ahad (26/7/2020), mengaku sudah mempelajari bahwa sesuai berita di Kompas.com edisi Senin, 6 Juli 2020, Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud, Iwan Syahril, menegaskan, yang akan dipermanenkan adalah platform PJJ, bukan metodenya.
Hasil survei LP Ma’arif NU Jateng, dari sebanyak 602 responden, 67 responden (11 persen) setuju, 116 responden (19 persen) kurang setuju, 333 responden (56 persen) tidak setuju, 86 responden (14 persen) sangat tidak setuju. “Setuju dan tidak setuju, memiliki alasan masing-masing,” terangnya.
Ia menjelaskan, karena instrumen survei pada poin alasan ini berupa narasi, maka alasan yang setuju, dapat dilaporkan secara kualitatif ke beberapa poin. Pertama, sekarang sudah zaman digitalisasi, jadi harus semua siswa dan guru mengerti tentang era digitalisasi.
Kedua, bisa irit guru dan ruang belajar. Ketiga, memudahkan dalam kondisi pandemi karena untuk menghindari wabah virus corona. Keempat, sudah sunnatullah. Kelima, menyongsong era baru dunia pendidikan 2026. Keenam, materi bisa disiapkan kapan saja.
Ketujuh, bisa mengerjakan tugas dengan santai dan tidak ada keramaian, seperti terganggu di sekolahan di ruangan lain atau di kelas lain. Kedelapan, kerja tidak terikat waktu. Kesembilan, anak dibiasakan dengan teknologi, anak dilatih untuk tanggung jawab. Kesepuluh, supaya guru lebih kreatif dan inovatif.
Sementara ketidaksetujuan itu, dapat dirangkum ke dalam beberapa poin besar secara kualitatif. Pertama, kurang efektif baik secara pembelajaran pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kedua, kurang pengawasan dari guru. Ketiga, ribet dan boros. Keempat, belum pas dilaksanakan untuk masyarakat dengan tingkat ekonomi dan pemahaman belajar yang ada di garis menengah ke bawah dan daerah yang sangat sulit sinyal. Kelima, sulit untuk transfer pendidikan karakter, moral, dan akidah. Keenam, profesi pendidik tergantikan oleh teknologi secara an-sich. Ketujuh, sentuhan langsung, body language pendidik, kesantunan dan tatapan merupakan bagian dari proses belajar yang tidak bisa digantikan oleh produk teknologi secanggih apapun.
Kedelapan, orang tua harus membagi waktu untuk bekerja dan mendampingi anak belajar. Kesembilan, ketidakseriusan anak-anak. Kesepuluh, sulit memahami pelajaran karena harus otodidak, tidak ada subsidi kuota, merasa jenuh karena interaksi hanya lewat dunia maya, dan sulitnya dalam penilaian guru khususnya pada ranah keterampilan.
“Kesimpulannya, masyarakat Jateng tidak setuju PJJ. Masyarakat belum siap, apalagi jika diterapkan secara permanen, baik platform atau metode PJJ. Sebab, keduanya tidak begitu dipahami masyarakat luas sehingga menilai yang permanen adalah PJJ itu sendiri,” ungkapnya.
Sekretaris PWNU Jateng, KH. Hudallah Ridwan Naim (Gus Huda), menegaskan, data survei tersebut merepresentasikan, masyarakat Jateng, khususnya warga NU, tidak setuju dengan wacana PJJ yang akan dipermanenkan Mendikbud Nadiem Makarim, baik itu platform maupun metodenya.
“Data survei yang dilakukan LP Ma’arif ini, adalah hasil murni dari kondisi di lapangan, baik diambil dari guru, pelajar, dosen, pengurus LP Ma’arif maupun masyarakat luas,” tuturnya. “Ini akan menjadi dasar bagi LP Ma’arif NU maupun PWNU, dalam merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan program pendidikan, khususnya di internal NU,” lanjutnya, Ahad (26/7/2020). (rls, gie, mail, luh/ ibd, adb, rid, ros)