Oleh: Hamidulloh Ibda
Sebagai guru bangsa, Nurcholish Madjid (Cak Nur) menjadi salah satu peletak ide “Islam moderat” di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme, toleransi, modernisasi menjadi rujukan di Indonesia bahkan dunia. Mengenang Cak Nur tidak cukup memperingati haulnya pada setiap 29 Agustus aja. Namun harus konsisten mengamalkan cita-cita Cak Nur yang belum tuntas.
Kementerian Agama menjajaki kerja sama dengan Nurcholish Madjid Society (NCMS) untuk pelatihan mubaligh muda berwawasan Hak Asasi Manusia (HAM) pada Jumat (23/2/2018). 17 Maret 2018, kendati Cak Nur sudah lama wafat, banyak para intelektual penggemar Cak Nur merayakan milad guru bangsa tersebut. Kegiatan tersebut menjadi bagian dari usaha menjaga warisan-warisan Cak Nur yang tak akan usang.
Jika bangsa ini memegang teguh dan serius berguru pada pemikir pembaharu, penulis yakin bangsa ini tak akan terkoyak. Gagasan Cak Nur tentang toleransi masih relevan bahkan sangat dibutuhkan di tengah pertarungan ideologi, faham dan politik identitas saat ini. Apalagi, di tahun 2018 dan menjelang 2019, suhu politik di Indonesia, khususnya Jawa Timur, Tengah, dan Jawa Barat makin panas lantaran ada Pilkada.
Belakangan, pertentangan antara nasionalisme dan spirit keagamaan makin kacau karena dibenturkan kepentingan politik. Ditambah benturan SARA yang dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Adanya kelompok pengusung spirit “negara Islam” justru memperkeruh kondisi bangsa. Padahal memegang nasionalisme, Pancasila, Islam yang pribumi, menurut Cak Nur sudah sangat Islami.
Merawat Toleransi
Mempertentangkan nasionalisme dan Islam justru akan membuat Islam tidak bisa survive. Hal itu terbukti dengan penolakan Cak Nur terhadap gagasan Masyumi pada era 1960-an tentang penyatuan Islam-politik serta Islam-negara.
Pola pikir seperti ini sebenarnya berawal dari latar belakang keluarga dan pendidikan. Cak Nur berasal dari keluarga Nahdlatul Ulama (NU) yang berafiliasi politik modernis, yaitu Masyumi. Gagasan politik Islam dan negara Islam yang digaungkan Masyumi kala itu justru ditentang keras Cak Nur. Tak heran jika ia sendiri dibenci seniornya yang kebanyakan dedengkot Masyumi.
Cak Nur berpendapat, kondisi bangsa semakin keruh jika masalah duniawi yang tidak sakral disatukan dengan Islam. Maka gagasan “Islam Yes, Partai Islam No” menjadi bukti “sekularisme” Cak Nur di Indonesia. Sekularisme di sini bukan seperti yang dipahami kebanyakan orang.
Menurut Cak Nur, masyarakat tidak perlu menyakralkan sesuatu yang tidak penting dan tidak ilahiyah. Adanya politik Islam dan negara Islam bukan tujuan utama dalam beragama, karena hakikatnya politik dan negara tidak sakral. Di situlah substansi sekularisme gagasan Cak Nur.
Mengapa demikian? Cak Nur dalam berbagai bukunya menjelaskan tujuan beragama puncaknya bukan politik Islam atau negara Islam. Namun, “keadilan sosial” bagi semua manusia yang substansi itu sudah masuk dalam Pancasila. Keadilan di sini mewajibkan orang beragama harus terbuka, modern, moderat, merdeka, mandiri dan toleran.
Di era milenial ini, toleransi di Indonesia memang menjadi barang mahal. Sebab, interaksi dengan pemeluk agama lain selalu dicurigai, toleran dianggap berafiliasi. Hal itu membuktikan masih dangkalnya masyarakat memahami substansi agama. Padahal, hal itu wujud nasionalisme dan substansi agama yang sebenarnya, karena menjadi rahmat bagi semua alam dan makhluk.
Gugatan atas kemapanan oleh Cak Nur terhadap sikap keagamaan di Indonesia inilah sering memunculkan pro dan kontra. Banyak kalangan yang tidak tahu dan kenal Cak Nur sering melabelinya dengan tokoh liberal, sekuler, bahkan sesat dan kafir.
Padahal, Gus Dur menyebut Cak Nur adalah salah satu dari “tiga pendekar” Unversitas Chicago selain Amien Rais, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Menurut Gus Dur (2011), Cak Nur selalu menekankan pentingnya mencari persamaan di antara semua agama dan kebudayaan. Sebab sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia justru menyempitkan Islam itu sendiri.
Poinnya adalah persamaan manusia, humanisme, bukan sentimen agama dan mempertentangkan agama dan dunia yang dicampuradukkan tidak sesuai porsinya. Di sinilah Cak Nur meletakkan ide dasar toleransi yang relevan tiap zaman. Sebab, tujuan berislam menurut Cak Nur harus mengutamakan prinsip hanifiyah samhah (keislaman yang toleran dan penuh kelapangan). Jika tidak bisa, maka masyarakat akan mudah mengafirkan, menyesatkan dan menganggap yang tidak sefaham salah.
Penjaga NKRI
Dewasa ini, masih ada kelompok radikal ingin mengganti dasar negara. Mereka mempertentangkan nasionalisme dan Islam yang hakikatnya bisa bersatu. Hal itu membuktikan kesempitan berpikir dan mentalitas luar pagar yang tidak memahami Indonesia secara utuh.
Pemikiran seperti Cak Nur dan tokoh plural lainnya di era kini sangat dibutuhkan dan harus dibumikan kembali. Indonesia memiliki puluhan tokoh plural yang sangat nasionalis dan mampu melahirkan gagasan adem, humanis dan melahirkan spirit menjaga NKRI.
Selain Cak Nur, Indonesia memiliki banyak “pendekar” penjaga bangsa. Katakanlah pendekar kawakan dari Makkah seperti KH. Hasyim Asyari pendiri NU dan KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Sampai detik ini, NU dan Muhammadiyah komitmen menjaga NKRI tanpa harus mendirikan negara Islam.
Juga pendekar dari Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir, seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Mustofa Bisri (Gus Mus). Selain itu juga Mukti Ali dan Kafrawi yang dikenal pendekar dari Universitas McGill.
Meski mereka mendapat ilmu dan didikan dari luar negeri, namun hasilnya tetap nasionalis, islami dan tetap menjaga NKRI, bukan sebaliknya. Sebagai negara yang bhineka, sikap humanis, plural, toleran dan moderat harus diutamakan.
Menjadi nasionalis merupakan salah satu substansi beragama, karena beragama hakikatnya adalah mengutamakan amal saleh dan berbuat baik kepada sesama. Jika ada kelompok yang tidak nasionalis, humanis dan intoleran, apakah pantas mereka mengaku beragama dan hidup di Indonesia? (*)
Hamidulloh Ibda,
Pengagum Cak Nur dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru MI (PGMI) STAINU Temanggung.