Al-Quran: Visi, Misi dan Guidensi Hidup

0
1695

Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM

Ada khilafiyah mengenai awal turunnya al-Quran. Jumhur menguatkan malam 17 Ramadan (QS. 2: 185). Wahyu yang turun ketika itu adalah perintah membaca, bukan perintah salat atau lainnya (QS. 96: 1-5).

Al-Quran artinya “bacaan sempurna” dengan karakternya yang utuh dan komperehensif (QS.15: 91); Kalam pemutus (QS. 86:13); Kalam yang jauh dari main-main (QS. 86: 14); Syifa’ (isim nakirah=obat penawar segala deviasi kehidupan (QS. 17: 82). Kalam eksis sampai hari kiamat (HQR. ‘Iyadh al-Mujassyi’).

Kesempurnaan al-Quran bersifat global; untuk segala aspek kehidupan. Maka ia sendiri memerintahkan agar dipahami via Sunnah Nabi, ijtihad seperti rasio kolektif berupa ijma’ dan rasio ahli seperti qiyas. Ini agar setiap kasus hukum, tetap ada cantolan dari syari’ah dan tidak sekularistik.

Al-Quran dan Akal

Tanpa disadari sepenuhnya, bahwa semua manusia berakal sering bertanya tentang tiga kuis ini. 1). Apakah impian hidup kita? = Visi hidup. 2). Untuk apakah kita hidup? = Misi hidup. 3). Bagaimana cara menggapai impian hidup? = direksi (guidensi) hidup.

  1. Visi hidup

Impen (Jawa), impian itu harus tinggi dan mengawang (visionair), tetapi dapat dijangkau (visibel). Bagi seorang yang berjiwa qurani, pasti pernah membaca doa sapu jagad:

ربنا اتنا فى الدنيا حسنة و فى الاخرة حسنة وقنا عذاب النار.  Artinya: Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan hidup di dunia, dan kebaikan hidup di akhirat… (QS.2: 201).

Doa tersebut bukan hanya berpahala, tetapi sekaligus sebagai visi hidup yang mensoklai dan memandu arah hidup. Sudah baikkah ibadah untuk keduniaan kita, sehingga patut mendapatkan kebaikan dunianya? Sudah mukhliskah ibadah keakhiratan kita, sehingga patut menggapai surga-Nya? Jika kedua atau salah satunya belum baik, visi hidup kita belum akan tercapai.

  1. Misi Hidup

Misi hidup bagi jin dan manusia ada dua. yakni Ibadah (QS. 51: 56) dan khilafah (QS. 2: 30). Jika merujuk kepada doa tersebut, maka itu adalah ikhtiar simultan dari ibadah mahdhah, sebagaimana rukun Islam dan ibadah ghairu mahdhah yaitu khilafah.

Ibadah mahdhah sifatnya rigid dan saklek, sedangkan ibadah ghairu mahdhah dalam hal ini khilafah dengan segala ikutannya, bersifat longgar dan bisa mengadopsi hal baru yang pastinya tidak bertentangan dengan syari’ah itu sendiri.

Contoh dalam misi politik, umat boleh bercara baru dan diperbarui, selama hal itu memenuhi asas keadilan, kesetaraan, musyawarah, kemerdekaan dan lainnya. Begitu pula sistem ekonomi yang berkeadilan, kearifan lokal yang  tidak bertentangan dengan nilai keislaman, saintek yang bermanfaat dan seterusnya, Itu semua boleh.

  1. Guidensi hidup

Untuk menggapai visi dan melaksanakan misi hidup, jin dan manusia memerlukan petunjuk. Ibarat barang pabrikan, untuk menggunakannya diperlukan direction for use (guidensi hidup).

Sebelum itu, Allah Yang Maha Kuasa telah memberikan hidayah kepada jin dan manusia, berupa hidayah ghariziyah (naluri), hidayah hawasiyah (inderawi), dan hidayah aqliyah (akal). Karena hidayah itu terbatas pada pengemban visi-misi, maka diberi oleh-Nya hidayah diniyah (agama) dan hidayah taufiq.

Itulah pula al-Quran diturunkan dalam tiga fungsi utamanya (QS. 2: 185). Yaitu hudan linnaas (petunjuk universal) pada manusia yang mereka tak pernah akan tahu seperti kehidupan setelah mati dan seterunya; wa bayyinaatin minal hudaa (penjelasan-penjelasan dari petunjuk) seperti naluri bertuhan dan seterusnya, dan al-furqan (pembeda) antara haq dan hoaks (bathil).

Jika jin dan manusia mampu mengemban visi dan misi di atas via guidensi al-Quran, maka Allah kabulkan doa mereka untuk sukses dunia dan akhirat. Persoalannya adalah penguasaan kita terhadap pemahaman al-Quran. Banyak orang yang gethol mau kembali kepada al-Quran, tetapi menggampangkannya tanpa perangkat sanad ulumut-tafsir. Akibatnya rusak dan merusaklah pemahaman itu. Wallaahu a’lam bi al-shawaab. (*)

Dr KH Muchotob Hamzah MM,

Penulis adalah ketua Mejlis Ulama Indonesia (MUI) Wonosbo.

 

Comments