PBNU Ungkap Tantangan Santri Zaman Sekarang

0
2796
Nusron Wahid menyampaikan orasinya dalam Halaqoh Santri di Gedung YM3SK, Senin (15/10/18) malam.

KUDUS, Suaranahdliyin.com – Bertindak selaku PBNU, H. Nusron Wahid, menyampaikan pandangannya terkait dengan fenomena dan tantangan santri sekarang. Menurutnya santri merupakan calon kiai yang memiliki nilai kesederhanaan, kemandirian dan pemahaman mendalam mengenai agama.

Ia juga mengambil analogi dari peradaban Kerajaan Majapahit yang menyebut santri/sahastri sebagai orang yang mendalami ilmu untuk menjadi seorang Resi dalam kasta Brahmana.

“Majapahit menempatkan ulama atau resi pada posisi tertinggi. Sedangkan di Indonesia sekarang terbalik, lebih menempatkan pejabat dan pengusaha lebih tinggi daripada kiai dan ulama. Ini yang kita sayangkan bersama,” ujarnya dalam Halaqoh Santri di Gedung YM3SK, Senin (15/10/18) malam.

Nusron melanjutkan, penetapan hari santri memiliki dua sudut pandang yang berkonotasi pada hal positif dan negatif. Yang positif adalah adanya hari santri menjadi bentuk pengakuan negara terhadap para santri yang dianggap gigih berjuang dalam penegakan negara.

“Maka santri harus mengisi kemerdekaan ini dengan kiprah dan keahliannya masing-masing. Mengawal NKRI ini agar tetap utuh dan maju,” tegasnya.

Kemudian, lanjutnya, sisi negatifnya adalah ketika terjadi dikotomi antara golongan santri dan non-santri. Yang berlaku islami disebut sebagai santri dan yang tidak islami tidak santri dan harus dijauhi. Padahal sekarang ini Indonesia tengah menghadapi tantangan pembajakan oleh gerakan Islam baru yang ingin mengganti sistem negara.

“Setidaknya ada dua tantangan santri yang saat ini perlu kita perjuangkan bersama,” papar Nusron.

Pertama, memastikan pesantren maupun madrasah diniyah masuk dalam sistem pendidikan nasional. Ini jadi langkah awal agar pengelolaan, fasilitas dan kesejahteraan lembaga tersebut diakui secara konstitusional. Saat ini sedang dirancang Undang-Undang Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren oleh para anggota legislatif yang berasal dari kalangan santri.

“Pengakuan terhadap lembaga santri dalam sistem pembangunan nasional penting agar dapat meningkatkan mutu kesejahteraan warga pondok pesantren,” lanjutnya.

Kedua, memasukkan santri dalam ruang publik negara. Supaya negara tidak dibajak oleh kekuatan Islam baru. Tantangan kita saat ini bukan berdebat fikih dengan Muhammadiyah yang sempat tegang pada era 60’an. Sekarang ini kita menghadapi dengan pandangan Islam baru yang ibadahnya sama tapi memiliki sudut pandang yang berbeda. Golongan Islam baru ini menurutnya adalah organisasi masyarakat pengusung ideologi Islam dan Khilafah, seperti FPI, HTI dan Partai Keadilan Sosial (PKS).

“Muhammadiyah punya konsep yang luar biasa, yaitu Daar al-Ahdi wa Syahadah. Sedangkan NU berprinsip Daar as-Salam. Artinya NU-Muhammadiyah sudah sepakat negara dijalankan dengan sistem hukum konstitusi yang disepakati bersama semua rakyat Indonesia, maka FPI,HTI dan PKS lebih memilih negara dijalankan dengan sistem agama Islam,” jelasnya.

“Jangan sampai negara yang diperjuangakan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan ulama lain seperti itu diotak-atik lagi dan akhirnya kacau. Negara ini harus kita jaga agar tidak keluar dari konsensus dan akhirnya dibajak oleh generasi Islam baru,” imbuhnya dengan berapi-api. (rid, adb/ros)

Comments