
KUDUS, Suaranahdliyin.com – Santri dan kiai telah diakui sebagai pionir perjuangan berdirinya NKRI. Namun hal itu kini juga menimbulkan polarisasi dan diversifikasi makna santri yang akhir-akhir ini semua orang menyebut diri sebagai bagian dari santri. Kendati begitu yang terpenting adalah eksistensi santri dalam menghadapi tantangan era baru dunia global. Santri harus mampu memberikan warna terhadap kemajuan sekaligus menjaga negara dari gerakan pembajakan negara yang mengatasnamakan agama.
Demikian itu disampaikan oleh Ketua PD Muhammadiyah Kudus, Hilal Majdi dalam Halaqoh Santri di Gedung Yayasan Masjid, Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK), Senin (15/10/18) malam. Dalam kesempatan itu, ia terlebih dahulu menyoroti makna santri yang terus melebar dan terpolarisasi oleh perkembangan zaman. Di mana-mana istilah yang biasa digunakan oleh kaum santri telah dipakai juga oleh berbagai kalangan, utamanya organisasi islam dan lembaga formal negara.
“Seperti halnya para pelajar di sekolah boarding school itu akhir-akhir ini juga menyebut diri sebagai santri, lalu juga istilah mabid (menginap), yang kini lazim digunakan oleh siapa saja meski bukan santri,” katanya.
Maka, imbuh Hilal, pemaknaan terhadap santri ini harus diperhatikan kembali agar tidak memengaruhi perilaku santri yang asli. Maksudnya dari sisi tradisi, budaya dan religiusitas santri ini harus dikaji kembali supaya tidak salah menyebut santri. Menurut Hilal, religius dan religiusitas adalah dua kata yang berbeda makna. Religius adalah sikap atau perbuatan patuh terhadap ajaran agama, sedangkan religiusitas lebih luas dimaknai sebagai sikap menghargai keragaman dalam masyarakat beragama.
“Penting untuk mengukuhkan profil santri dan kiai itu seperti apa. Dan ini tidak bisa dianggap sepele karena kadang bisa mengaburkan “meaning” yang bisa memengaruhi perilaku santri,” imbuhnya.
Selanjutnya mengenai makna modern Hilal menerangkan konsep modernitas santri dengan mendorong mereka agar terus mengimbangi arus globalisasi. Menurutnya saat ini santri harus memerhatikan era disrupsi dan revolusi industri 4.0 yang menyasar pada ekonomi dan budaya masyarakat dunia. Ini menjadi tantangan santri yang tidak boleh ketinggalan merespon arus besar itu dan tidak tergerus juga olehnya.
“Saya kira santri juga mungkin bakal tergerus itu jika tidak mengikuti perkembangan soal disrupsi dan era 4.0 tersebut,” katanya. (rid, adb/ros)