Sujud Rinduku

0
2511

Cerpen: M. Faqih Muzakki

Exif_JPEG_420

“Aku tak ingin di rumah”. Itu kalimat yang sering kuucapkan saat ibuku memarahiku, karena aku sering bermain tanpa memperhatikan waktu dan tempat.

Seperti saat ini, setelah pulang sekolah aku pergi ke tempat yang jauh, dan pulang tepat saat azan Maghrib berkumandang di musala sebelah rumahku.

Aku mengulanginya. Benar, perkataan itu. Perkataan yang membuat ayah keluar kamar, lalu berdiri di hadapanku. Ayah hendak menampar pipi kiriku, namun ibu telah sigap mencegahnya.

“Jangan, ayah. Jangan pukul Tsabit,” kata ibu

“Anak ini sudah keterlaluan, bu. Berapa kali ia membuat masalah. Berapa kali ia berkelahi di sekolah? Lihatlah sikapnya yang tak mau diatur,’’ tukasnya. Namun ibu tetap mencegahnya. Memegang tangan ayah dengan kuat.

“Biarlah Tsabit mengerti sendiri, yah!” Sejenak ayah terdiam. Membiarkan emosinya menguap, lalu menghilang. Dan aku masih berdiri di hadapannya, sembari menggaruk-garuk bagian tubuhku yang gatal karena keringat.

Saat itu aku tak tahu, mengapa ibu menangis. Ia menatapku tajam. Sementara ayah, pergi ke musala. Ibu menyuruhku untuk membersihkan diri.

“Tsabit, lekas kau ganti seragammu. Lalu salat Maghrib’’.

Aku hanya mengangguk, mengiyakan.

“Nak, ingat kata ibu. Kau anak yang baik. Tsabit tetap anak ibu yang baik. Kelak kau akan mengerti, siapa orang yang paling menyayangimu. Siapa orang yang paling kau sayangi. Sekarang, pergilah. Mandi di belakang!”

Aku lari ke belakang. Tak kupedulikan lagi kata-kata ibuku. Yang terpenting, kini aku telah selamat dari orang tua yang memarahiku. Itu cukup.

Namaku Tsabit Qolbi. Kalian boleh bilang aku anak yang nakal. Tak apa. Faktanya aku adalah pembuat masalah. Di sekolah, aku pun sering berkelahi dengan temanku, sehingga ibuku sering mendapat panggilan dari sekolah.

Tapi lambat laun, semua itu berubah. Dan aku mulai percaya kata-kata ibuku.

Setahun kemudian, aku lulus dari sekolah dasar. Kini aku di tengah perjalanan menuju sekolah lanjutan. Kata ayah, aku harus melanjutkan di pondok pesantren yang jauh dari rumahku. Di luar Jawa.

Aku pun belajar di pondok, sesuai perintah ayahku.

***

Gerbang itu belum lagi sempurna. Sebuah bangunan yang tak cukup bagus, ramai oleh lalu lalang para santri dengan mengenakan sarung, lengkap dengan peci bertengger di kepala.

Di tengah-tengah pondok, sebuah masjid berdiri cukup megah. Puluhan anak nampak sedang mengaji, menyimak penjelasan sang kiai, sembari sesekali memberi makna di sela-sela huruf-huruf dalam kitabnya.

Pada mulanya aku tak tahu apa yang dinamakan pondok. Baru kali ini aku memasuki lembaga pendidikan Islam bernama pondok pesantren, dan sejak itu, aku akan tinggal di sana. Bersama para santri, yang datang dari berbagai penjuru negeri.

“Kau akan tinggal di sini, bersama santri-santri lain. Mengaji,’’ tutur ayah.

“Ayah sama ibu juga ikut tinggal di sini?” Tanyaku.

“Tidak. Ayah ibu akan pulang. Tsabit belajar di dini. Tsabit, jadilah santri yang baik. Ayah ibu akan senantiasa mendoakanmu, agar memperoleh ilmu barakah,” ibu menimpali.

Aku hanya terdiam. Itu tak penting menurutku. Tak ada ayah, tak ada ibu, justru membuatku senang; tak ada yang memarahiku lagi.

***

Langit senja melukis pelataran langit. Memberikan nuansa yang demikian indah, di tengah kumandang azan di masjid pondok. Itu malam pertamaku memulai hidup baru, sebagai anak pesantren.

Umurku baru 12 tahun. Tak ada yang kukenal di sini. Aku tak berusaha mengenal yang lain. Pikirku, aku tak ada masalah dengan mereka.

Aku seringkali menyendiri. Duduk di pojok ruangan, memandang langit-langit, dan mencoba berpikir tentang kehidupan yang sedang kujalani.

Suatu hari, di pojok ruangan sebagaimana biasa, air mataku tumpah. Aku menangis. Aku yang selama ini merasa kuat, kini seakan rapuh.

“Kau kenapa, Tsabit?”

Aku tertunduk saat temanku menanyaiku.

Lama. Tak ada yang menegur kembali, dan aku masih menangis di pojok ruangan itu.

“Kau kenapa, Tsabit?” Kali ini ustaz yang datang menanyaiku.

“Kau tidak ikut kegiatan bersama teman-temanmu?” lanjutnya menanyaiku.

“Tsabit kangen, ustaz. Kangen sama ayah. Sama ibu. Tsabit mau pulang.’’ Aku menjawab terbata-bata.

“Sudahlah, Tsabit. Tak usah bersedih. Ayah ibumu akan menengokmu sebulan lagi,” hibur ustaz.

‘’Tsabit takut ayah ibu tak mau ke sini,’’ kataku.

“Kenapa begitu, Tsabit?” ustaz kembali bertanya.

“Tsabit sering buat ayah ibu marah di rumah. Makanya Tsabit dipondokkan di sini. Tsabit takut ayah ibu tidak ke pondok lagi,’’ kataku sambil menahan tangis.

“Tidak, Tsabit. Ayah ibumu tak pernah marah. Mereka sayang padamu. Ustaz yakin, mereka akan menengokmu besok. Tsabit juga sayang mereka, khan?”

Aku mengangguk.

“Maka jangan bersedih lagi. Ayah ibumu ingin kau jadi santri yang baik di sini. Berusahalah menjadi anak yang baik. Kalau kau bersedih, ayah ibumu juga akan ikut bersedih,’’ ustaz kembali berucap.

Ustaz pun meninggalkanku. Dengan langkah pelan satu satu.

Dan dalam kesendirianku, aku tersadar, betapa ayah ibuku demikian sayang padaku. (*)

Faqih Muzakki,

Penulis adalah santri Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an Menawan Kudus asal Kabupaten Sidoarjo. Suka menulis puisi dan cerpen. Dan kini sedang mempersiapkan kumpulan puisi ‘’Di Bawah Langit Menawan’’.

 

 

Comments