Pesan KH Achmad Chalwani kepada Santri: Teladani Pahlawan Negeri

0
1302
KH Achmad Chalwani menyampaikan tausiyah

BOYOLALI, Suaranahdliyin.com – Mengingat sejarah peran kiai dan santri dalam perjuangan bangsa menggapai kemerdekaan, adalah hal yang perlu terus ditanamkan bagi segenap anak bangsa, khususnya santri. Peran kiai dan santri dalam perjuangan membela negara, nyata dan tidak bisa ditutup-tutupi lagi.

Demikian disampaikan pengasuh Pesantren An-Nawawi Berjan, Gebang, Purworejo, KH Achmad Chalwani, dalam pengajian umum memeringati Haul Masyayikh dan Kemerdekaan Republik Indonesia di Pesantren Darussalam Bandung, Wonosegoro, Boyolali, Selasa (9/8/2022) malam.

Disampaikannya, Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi) yang dikirim Belanda untuk turut menjajah Nusantara, malah bergabung dalam perjuangan kemerdekaan setelah kenal dan memahami usaha kiai dan santri menghadapi penjajah. “Kalau tidak ada kiai dan pondok pesantren, gereget (semangat) bela bangsa (nasionalisme) rusak,” katanya mengutip pernyataan Douwes Dekker.

Kiai Chalwani melanjutkan, bahwa yang paling berani menentang Belanda itu kiai dan santri. Misalnya Raden Mas Ontowiryo, santri yang dimakamkan di Makasar, lebih dikenal dengan Kiai Abdul Hamid atau Pangeran Diponegoro, itu adalah seorang santri, guru ngaji, dan guru thoriqoh.

“Namanya diabadikan di antaranya sebagai nama Universitas Diponegoro dan Kodam Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta,” sebut Kia Chalwani yang juga sebagai mursyid thoriqoh Qadiriyah wa Naqsyabandiyah itu.

Ditambahkannya, di antara peninggalan Pangeran Diponegoro adalah al-Qur’an, tasbih, dan kitab Taqrib. Diponegoro bermadzhab Syafi’iyah, yang membaca qunut dalam salat Shubuh, salat tarawih 20 rekaat ditambah salat witir 3 rekaat, sama dengan amalan ahlussunnah wal jamaah kita, Nahdlatul Ulama.

Karena itu, Kiai Chalwani mengajak untuk memasukkan anak-anak ke pondok pesantren ahlussunnah wal jamaah. “Pahlawan yang harum namanya, Kartini, itu juga santri yang mondok, menuntut ilmu kepada Kiai Soleh Darat,” ungkapnya.

Dijelaskan, Kartini memberikan usul kepada Kiai Sholeh Darat untuk menafsirkan 30 Juz al-Quran dengan bahasa Jawa untuk dijadikan pedoman kaum perempuan di wilayahnya. Namun dijawab Kiai Sholeh Darat, bahwa menafsirkan al-Quran itu susah. Karena harus menguasai seperangkat ilmu tafsir untuk memahaminya.

Kartini malah mengatakan, “Jenengan gadah ilmunya sedaya.” Mendengar itu, Kiai Sholeh Darat menangis sembari minta didoakan Kartini semoga dapat menafsirkan 30 Juz al-Quran. “Sayangnya sejarah Kartini yang nyantri dan ngaji Qur’an tidak dijelaskan di sekolahan,” ujarnya.

Warga antusias menghadiri pengajian

Selain itu, Kiai Chalwani menuturkan dalam pengajian yang juga diwarnai pembacaan shalawat dipimpin Habib Zaidan bin Haidar bin Yahya itu, jika ingin dikabulkan doa oleh Allah, maka harus rindu Nabi. Dengan cara meneladaninya. “Nabi senang salat malam, maka kita juga meniru mengerjakan. Nabi salat dhuha, kita juga mengerjakan,” tamsilnya.

Berdasar keterangan Ketua Yayasan Pesantren Darussalam Kiai Khumaidi, pengajian ini juga sebagai puncak rangkaian acara peringatan tahun baru 1444 Hijriyah, khataman suluk thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyah, santunan anak yatim, dan khitanan massal. (siswanto ar/ ros, adb, rid)

Comments