KABUPATEN SEMARANG, Suaranahdliyin.com – Pengasuh Pesantren Walisongo Sragen, Jawa Tengah, KH Ma’ruf Islamuddin berpesan jangan berhati susah menghadapi kehidupan, sebaliknya dibuat senang saja. Susah itu tanda tidak senang takdirnya Allah.
“Hidup itu ditemani Allah terus. Rezeki juga sudah dijatah,” tuturnya dalam Khataman Akbar, Haul Syuhada Kemerdekaan Republik Indonesia, dan Silaturrahim Hafizh-Hafizhah serta Qari’-Qari’ah Pimpinan Wilayah (PW) Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffazh (JQH) Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Tengah, Sabtu (3/8/2024).
Kiai Ma’ruf menyatakan, perlu tirakat (riyadhah/latihan) memiliki rasa jangan takut dan jangan susah (la takhaf wala tahzan), karena jika seseorang gembira (bungah) akan menjadikan sehat.
“Tirakat yang paling bagus, itu tirakat memiliki hati yang baik,” ujar Kiai Ma’ruf dalam acara yang digelar di Pesantren Darussalam Gebugan, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah tersebut.
Dirinya mengibaratkan orang yang berhati baik itu seperti duit (uang). Duit aslinya bahannya hanya dari kertas, tapi setiap orang senang. Meletakkannya hati-hati. Jika hilang pasti menyesalinya. Ditukar dengan apapun bisa.
“Ingin (makan) soto, bakso, mau beli apapun pakai duit. Duit manfaatnya luar biasa,” katanya.
Sederhananya, lanjut Kiai Ma’ruf menambahkan, duit itu ternyata diapa-apakan nominalnya utuh. Ditekuk, diremas, dan diinjak-injak (nominalnya) tidak berubah. Ini yang luar biasa dari duit.
“Demikin juga hati kalau memang baik diapa-apakan tetap utuh baik. Dihina, dicela, difitnah, diumpat tetap baik. Itulah hati yang benar-benar baik,” ungkapnya.
Lebih lanjut Kiai Ma’ruf menyampaikan, jika sudah bisa menjalankan hati yang baik, kelasnya bukan kelas yang biasa, tapi luar biasa. Maqamnya wali.
“Wali iku wali’an, wali’ane seng ora wali (wali itu kebalikan, kebalikannya yang tidak wali),” ujarnya.
Dirinya menyontohkan, pada umumnya orang dihina atau diumpat akan marah atau kecewa. Tapi (sebaliknya) kalau wali dihina malah mengatakan, “Alhamdulillah, dosaku hilang. Untungnya yang mengumpat tidak aku.”
Kiai Ma’ruf juga mengajak melatih hati yang senang memberi. “Ketika di Mekah ada orang yang memberi (bersedekah) kepada jamaah. Kemudian saya larang jamaah saya ikut keroyokan menerimanya. Tapi justru saya berdoa agar bisa menjadi seperti yang memberi itu,” kisah keteladanannya. (siswanto ar/ ros, adb)