
KUDUS, Suaranahdliyin.com – Kabupaten Kudus, yang dikenal sebagai Kota Kretek, menyimpan kekayaan cita rasa kopi, salah satunya adalah Kopi Rahtawu. Kopi khas ini tumbuh subur di lereng Gunung Muria, tepatnya di Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog.
Kopi Rahtawu tidak hanya menawarkan rasa yang khas, tetapi juga menyimpan sejarah dan keunikan budidaya tersendiri. Sejarah Kopi Rahtawu konon sudah dimulai sejak era kolonial Belanda.
Menurut Sugiyanto, salah satu warga sekaligus produsen kopi lokal, tanaman kopi ini diwariskan kepada masyarakat setempat dan awalnya ditanam secara alami.
“Penanamannya masih dilakukan secara alami dan sederhana tanpa dibudidayakan secara intensif, hingga menunggu masa panen tiba,” ungkapnya ahad (9/11/2025)
Sejak dulu, warisan kopi ini telah diperjualbelikan dan menjadi salah satu mata pencaharian utama warga. Hasil panen dari lereng gunung dibawa turun untuk diolah secara tradisional. Setiap petani biasanya mengolah sekitar dua kuintal biji kopi per musim panen.
Sugiyanto menjelaskan proses pengolahan Kopi Rahtawu memiliki kekhasan, terutama dalam tahap pencucian. “Biji kopi dipisahkan dari kulitnya, direndam di air aliran sungai, hingga menjadi wos (biji kopi yang masih berkulit ari atau kulit bagian dalam). Setelah dijemur, kemudian ditumbuk untuk memisahkan kulit ari hingga menjadi green bean atau biji mentah. Setelah itu, baru bisa dijual ke warga lokal, dengan takaran per gelas atau per pon,” terangnya.
Jenis kopi yang dominan dihasilkan adalah Robusta, meskipun terdapat juga jenis Arabika, namun jumlah panennya relatif lebih sedikit.
Kopi Rahtawu ditanam di dataran tinggi lereng Gunung Muria. Para petani kopi Rahtawu juga memaksimalkan pengolahan dan perawatan biji kopi, sehingga menghasilkan keunggulan yang dapat dilihat dari warna putik sarinya.
“Putik sari kuning Menandakan biji kopi akan tumbuh dengan lebat, tetapi jumlah panen berikutnya cenderung berkurang. Sedangkan putik sari hijau Menunjukkan jumlah biji kopi yang tumbuh lebih stabil dari musim ke musim” jelasnya.
Dari segi ekonomi, pertanian kopi sangat membantu perekonomian warga Desa Rahtawu. Sugiyanto menambahkan bahwa hasil panen kopi bisa mendatangkan keuntungan lebih besar dibandingkan tanaman lainnya.
“Dulu memang kebanyakan petani Desa Rahtawu menanam jagung. Meskipun panen biji kopi hanya satu kali dalam setahun, keuntungan yang didapatkan bisa empat kali lipat dari hasil keuntungan tanaman jagung, karena melihat dari permintaan pasar dan produktivitas sekarang ini,” imbuh Sugiyantom
Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya perkebunan kopi yang kini mendominasi lahan di Desa Rahtawu.
Metode pemasaran Kopi Rahtawu telah berevolusi seiring perkembangan teknologi. Dulu, petani menjualnya melalui tengkulak dari luar daerah. Namun, setelah mengenal media sosial, kini pemasaran dilakukan langsung oleh petani lokal. Hal ini membantu meningkatkan nilai jual dan pendapatan.
Meski demikian, menjadi petani kopi Rahtawu juga tak lepas dari tantangan, menekankan pentingnya perhatian ekstra dalam pengolahan agar hasilnya maksimal.
“Kopi sendiri juga butuh sentuhan, karena kopi itu tidak bisa kalau cuma asal ditanam, dirawat, dan dipupuk saja,” ujar Sugiyanto.
Para petani lokal juga proaktif mengenalkan Kopi Rahtawu melalui berbagai cara, salah satunya melalui ekspo para pecinta kopi untuk memperkenalkan cita rasa autentiknya, terutama di kalangan anak muda. Sayangnya, program desa untuk mengenalkan kopi kepada remaja masih terhambat keterbatasan biaya.
Menutup perbincangan, Sugiyanto menyampaikan harapan agar Kopi Rahtawu mendapat dukungan lebih lanjut dari pihak terkait.
“Para petani kopi Rahtawu berharap ada pihak ketiga untuk mengayomi, agar dapat mempertahankan cita rasa otentik Kopi Rahtawu,” harapnya.
Dukungan ini dinilai penting untuk menjaga kualitas dan kelestarian warisan rasa khas dari lereng Muria tersebut.
(David Ananda Putra Mahasiswa PBSI UMK)





































