Long Life Learner, Spirit (Menjadi) Kartini Masa Kini

0
992

Oleh: Nurul Lailatis Sa’adah SPd

Tak diragukan, di Indonesia, Kartini merupakan simbol perjuangan perempuan untuk terus belajar. Seperti hukum kapilaritas dalam fisika, semangatnya terus mengalir melalui pori-pori yang sempit sekalipun, dalam kehidupan saat ini.

Lahir di Jepara 21 April sekira satu setengah abad lalu, Kartini telah mewariskan legacy yang begitu besar bagi bangsa ini. Kisah perjuangannya untuk memperoleh hak pendidikan, dimulai sedari larangan sang ayah, RM Ario Sasroningrat supaya tidak melanjutkan sekolah selepas dari Europose Legere School (ELS, setingkat Sekolah Dasar).

Di usianya yang ke – 12 tahun, saat Kartini menstruasi untuk pertama kali, ia harus dipingit. Ya, saat itu, tradisi perempuan yang sudah menstruasi, memang dikurung di kamarnya sampai ada pria yang melamarnya.

Hebatnya, kendati secara fisik terkurung, namun tekad Kartini untuk terus belajar, senantiasa menggelora. Ia rutin membaca buku-buku, koran, dan majalah Eropa. Ia juga rajin berkirim surat (berkorespondensi) dengan teman-temannya di luar negeri, untuk saling bertukar informasi dan ilmu pengetahuan yang berkembang.

Kegiatannya itu memberikan ide luar biasa, yakni mendirikan sekolah perempuan pribumi, agar perempuan-perempuan pribumi bisa berpikir maju, dan mempunyai kemampuan literasi dasar (menulis dan membaca) sebagaimana perempuan di daratan Eropa.

Tekad dan cita-cita Kartini memajukan pendidikan perempuan sampai akhir hayat, membentuk menjadi pembelajar sepanjang hayat (long life learner). Skill life long learning inilah yang perlu diserap, dan diaplikasikan para perempuan masa kini, dalam menjalani kehidupannya. Apalagi tantangan di ruang digital kini semakin besar, karena tidak terikat oleh ruang dan waktu.

Saat dikurung di kamarnya, ia tetap menemukan cara untuk terhubung dengan dunia luar. Ini menjadi hal menarik yang dilakukannya, untuk tetap menjaga kewarasannya, meski sekelilingnya terus mengimpitnya.

Untuk dipahami, long life learning adalah keinginan untuk belajar terus menerus dan berkesinambungan dari buaian sampai akhir hayat. Seperti konsep ‘uthlubu al ilma min al mahdi ila al lahdi (Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat).

Beberapa peneliti menilai, long life learning memainkan peran kunci dalam meningkatkan kemampuan dan kinerja individu serta perekonomian.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020, mencatat, sebanyak 50,7 juta penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja adalah perempuan. Sebanyak 54,2 bekerja sebagai tenaga usaha penjualan, tani, kebun, ternak, ikan, hutan dan perburuan; 38,67 % menjadi tenaga produksi, operator, profesional, teknisi, dan jasa; 6,37% menjadi pejabat pelaksana dan tata usaha; 0,65% merupakan tenaga kepimimpinan dan ketatalaksanaan; dan 0,11% di jenis pekerjaan lain.

Dari data tersebut, sangat jelas, perempuan masih sebatas sebagai pekerja, sedang yang menjadi pengambil kebijakan persentasenya masih di bawah 1%. Padahal salah satu yang diperjuangkan RA Kartini adalah, selain mesti pandai menulis dan membaca, juga harus memiliki pemikiran yang maju dan bisa memberikan sumbangsih pemikirannya untuk masyarakat. Maka, mau tidak mau, perempuan harus memiliki jiwa long life learner dan senantiasa meningkatkan wawasannya.

Semangat untuk terus belajar ini menjadi penting, karena itu menjadi salah satu motivasi dan penanda bahwa ia akan memiki peluang hidup yang lebih layak dan “sejahtera” baik secara ekonomi, fisik, maupun spiritual. Tentu layak dan “sejahtera” secara spiritual, akan menjadi batu pijakan dalam menjadi membentuk seseorang sampai pada posisi long life learner.

Keyes dan Ryff, mengutarakan, setidaknya ada enam faktor yang perlu diperhatikan dalam proses layak dan sejahtera, khususnya secara spiritual. Pertama, self acceptance. Jika tidak bisa menerima diri sendiri secara utuh, maka dampaknya adalah ketidakstabilan emosi seperti mudah marah atau cepat depresi.

Kedua, positive relation. Hubungan yang baik akan meningkatkan kemampuan interpersoanl yang baik, dan menambah peluang hidup sekitar 50%. Ketiga, autonomy. Yaitu kemampuan membuat keputusan sendiri secara nyaman dan sesuai value yang diyakini.

Keempat, environmental mastery. Adalah kemampuan untuk menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan diri sendiri. Kelima, purpose in life, yakni memiliki tujuan hidup yang meaningful. Keenam, personal growth, keinginan untuk terus mengekplorasi dan mengembangkan diri tanpa batas.

Dengan menjadi pembelajar sepanjang hayat, diharapkan perempuan masa kini bisa menemukan jati dirinya yang otentik, mampu menerima dirinya secara utuh, lebih bahagia dan mampu bisa menebar manfaat bagi masyarakat melalaui karya-karya dan pengabdiannya. (*)

Nurul Lailatis Sa’adah SPd,

Penulis adalah staf pengajar SMA TBS Keramat.

Comments