KH Nur Jazin: Moderasi Beragama Bukan Berarti Pendangkalan Akidah 

0
1442
Ngaji bersama di di Musala Kantor Kecamatan Tahunan Jepara

JEPARA, Suaranahdliyin.com – Ngaji Bersama 5 Pilar Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Tahunan dan Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) Tahunan putaran ketujuh dan kedelapan, yang digelar di di Musala Kantor Kecamatan Tahunan Jepara, belum lama ini, mengulas materi moderasi beragama. Materi disampaikan oleh wakil ketua tanfidziyah KH Nur Jazin MPdI.

“Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri,” terang Nur Jazin.

Menurutnya, dasar moderasi beragama adalah firman Allah dalam Surat Al Baqarah Ayat 143, bahwa: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu sekalian sebagai ‘ummatan wasathan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia”.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Tahunan itu menyebut, ayat tersebut menjadi petunjuk bagi umat-Nya agar menjadi umat yang wasathiyah (moderat), umat yang proporsional dan berada di tengah dalam berbagai hal, khususnya moderat dalam beragama.

“Akan tetapi kita harus dapat membedakan antara moderasi beragama dan moderasi agama. Moderasi beragama bukan berarti pendangkalan akidah. Akidah tetap harus kokoh dan kuat. Itu dapat dilakukan dengan cara mendalami, memahami  serta mengkaji ajaran – ajaran Islam secara kaffah,” tutur lanjut Jazin yang juga kepala Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Nahdlatul Fata Petekeyan, Tahunan.

Dia pun memaparkan empat indikator moderasi beragama. Pertama, komitmen kebangsaan yang kuat; Kedua, toleran dan menghargai perbedaan tanpa menyampuradukkan akidah; Ketiga, antikekerasan, tidak ekstrem, tidak radikal dan juga tidak ada dominasi mayoritas; Keempat, akomodatif terhadap kebudayaan lokal yang berkembang di masyarakat.

Ditambahkannya, bahwa ada empat pilar Negara untuk tercapai masyarakat adil dan makmur, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. “Keempat pilar itu adalah adilnya para pemimpin, ilmunya para ulama, kedermawanan para aghniya dan doa fakir-miskin. Tetapi yang terpenting adalah adilnya para pemimpin. Sebab, jika pemimpin sudah berlaku tidak adil, maka rusaklah Negara,” tegasnya. (zakaria/ ros, rid, adb)

Comments