Keberislaman yang Memesona

0
748

Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM

Kata “pesona” dalam judul di atas, adalah kata kunci untuk dua arah pendidikan. Pertama, pesona dari para muallaf terhadap Islam dengan dasar analisis filosofis dan eksperiensi yang mumpuni. Kedua, sebagian besar kita (yang berislam secara natural dan belum memiliki perangkat atau kesempatan mendalami islam) sebagaimana para muallaf intelektual tersebut.

Tulisan ini akan dititikberatkan pada pesona pertama, dan dibatasi tiga muallaf intelektual pada tiga ranah yang berbeda. Tiga ranah tersebut adalah: 1). Islamic Scholarship (keilmiyahan Islam) dengan figur Muhammad Marmaduke Pickthall; 2). Islamic Justice (keadilan hukum Islam) dengan figur Dr. Robert Crane; 3). Islamic Humanity (peri kemanusiaan Islam) dengan figur Prof. Dr. Raja’ Garaudy.

Pertama: William Pichthall alias Muhammad Marmaduke Pichthall (7/41875—19/5/1936). Beliau lahir di Sulfolk, Inggris dari ayah seorang pendeta Kristen Angelikan. Waktu sekolah, William berteman dekat dengan Winston Churchill yang kelak menjadi perdana menteri Inggeris.

Sebagai seorang ahli bahasa, dia terpesona oleh keagungan Al-Qur’an. Ini tecermin dari tulisannya dalam pengantar terjemahan Al-Qur’an karyanya.

Dia menyatakan, bahwa Al-Qur’an: 1). Memiliki keunikan dibanding karya dan atau kitab suci yang lain; 2). Al-Qur’an jelas sekali bukan karya manusia, tetapi produk samawi dari Tuhan Yang Maha Tinggi; 3). Pesan-pesannya abadi dan universal; 4). Substansinya tidak merujuk tema atau gaya tertentu, tetapi fondasi dari seluruh sistem kehidupan (akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, saintek dls.); 5). Sumber bagi solusi-solusi terhadap persoalan pribadi dan masyarakat; 6). Kisah-kisahnya sebagai tambang gagasan pelbagai persoalan kehidupan.

Kedua: Dr. Robert Dickinson Crane (26/3/1929–12/12/1921) alias Farooq Abdul Haqq. Sebagai lulusan doktoral Universitas Harvard, dia pasti telah membaca ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’: 135 yang ditulis di dinding masuk fakultas hukum universitas tersebut. Sebuah prasasti tentang penghargaan terhadap makna keadilan dalam Islam, baik teoritis maupun praksis.

Dia juga pasti tahu atas penghormatan Kejaksaan Agung Amerika Serikat di zaman presiden Roosevelt terhadap penegakan hukum (Law Enforcement) ala Nabi Muhammad, sehingga figurnya dipasang di area kejaksaan agung itu. Dia pun menjadi muallaf atas keadilan hukum Islam.

Crane mengislamkan teman diskusinya, seorang Profesor Yahudi, ahli hukum sebagaimana dirinya, yang terpesona oleh kompilasi ayat waris dari Al-Qur’an yang ringkas tetapi komperehensif dan sarat dengan keadilan. Di mata sang profesor, kompilasi ayat-ayatnya yang tidak lebih dari 10 halaman itu ada yang menzalimi ahli waris yang berhak menerimanya.

Ketiga: Prof. Dr. Roger (Raja’) Garaudy (27/7/1913–13/6/2012). Seorang Kristen Protestan yang aktif menentang Nazi melalui partai Komunis. Dia sempat dipenjara di Aljazair selama 33 bulan. Ada pengalaman yang menghunjam di hatinya, ketika penjaga penjara diperintahkan memuntahkan peluru kepada narapidana oleh atasannya, para penjaga penjara yang muslim itu tidak melaksanakannya.

Mereka memiliki reasoning religi, yaitu: “Islam melarang seorang tentara untuk menembak orang yang tidak bersenjata”. Kelihatannya sepele. Tapi di mata seorang filosof semacamnya, alasan para penjaga narapidana tersebut sangat bermakna. Kebetulan Roger yang filosofis itu sedang mencari ajaran yang paripurna. Alangkah dalamnya ajaran humanitas Islam di saat hukum perang di luar Islam belum melangkah maju seperti hari ini.

Lebih dari itu, menurut Prof Rasjidi, bahwa Profesor Dr Raja’ Garaudy adalah seorang filosof Perancis) yang mampu mendudukkan agama dan filsafat pada tempat yang tepat dan mulia. Dengan membaca Promesses de L’Islam dan karya-karyanya yang lain, Prof Rasjidi merasa dirinya semakin mantap dalam berfilsafat keislamannya. Wallaahu a’lam bi al-shawab. (*)

Dr KH Muchotob Hamzah MM,

Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.

Comments