
Saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) pada 1980-an. Setiap pagi, saya melihat ada simbah sepuh yang mempunyai kebiasaan khariqul ‘adah. Saya pun menyebut (memberi julukan) ‘’Mbah safar” karena setiap hari beliau selalu jalan kaki dari rumah ke makam Mbah Yik De.
Cerita yang saya dapatkan, Mbah Safar adalah santri Mbah Yik De, yang mempunyai lakon (laku tirakat) dari muda hingga sepuh selalu berjalan kaki berziarah ke makam gurunya; Mbah Yik De. Keanehannya, dia selalu berjalan menyusuri sepanjang jalan sembari mencari batu akik di tepian jalan raya.
Namun, santri-santri “kalong” beliau sangat banyak, baik di Kabupaten Jepara maupun di luar ‘’Tlatah Bumi Kartini’’. Jika dia berkomunikasi dengan simbahku, Yai Masykuri, juga menggunakan bahasa isyarat yang saya sendiri tidak paham. (Berangkat dari guru yang khoriqul ‘adah, setidaknya juga ada santri yang mewarisinya. Hehehe … )
Khoriqul ‘adah Mbah Yik De pernah “memperlihatkan” kepada penjajah Belanda yang congkak dan sombong. Saat Mbah Yik De ingin berpergian ke Kudus naik “sepur” melalui station transit Sepur di Gotri, Kalinyamatan, namun ditolak oleh kondektur sepur.
Namun tanpa diketahui kondektur sepur, “ujug-ujug” Mbah Yik De sudah duduk manis di atas sepur dan tertidur pulas. Saat sepur akan berangkat, tiba tiba sepurnya tidak bisa jalan. Maka gegerlah para penumpang sepur. Kondekturnya pun bingung mencari sebab musabab mengapa sepur tidak bisa jalan.
Tak lama kemudian kondektur sepur mengumpulkan kru sepur, kemudian memerintahkan mereka untuk memeriksa mesin dan bodi sepur dari depan sampai belakang. Betapa terkejutnya, ketika salah satu kru sepur melihat “sikut tangan” Mbah Yik De nyangkut di “cagak listrik” yang berjajar di sepanjang rel sepur hingga sikut tangan Mbah Yik De bisa menahan laju sepur yang akan melaju.
Melihat keanehan itu, salah satu kru sepur lapor kepada kondektur perihal apa yang telah dilihatnya. Sang kondektur pun bergegas menuju tempat duduk Mbah Yik De. Setelah tiba di tempat duduk Mbah Yik De, sang Kondektur melihat sebab tertahannya sepur tidak bisa berjalan, adalah benar lantaran “sikut tangan” orang yang dia tolak saat hendak naik. Seketika tubuhnya pun gemetar. Dan keringatnya mengucur deras.
Lalu kondektur pun membangunkan Mbah Yik De dengan bahasa yang halus.
Setelah bangun, Mbah Yik De pun bertanya; Wis tekan Kudus, too? Wah, Aku keturon, iki. Kondekturnya pun sewot dan menjawab; Belum berangkat, Mbah. Ini akan berangkat. Tolong, ya, Mbah, tangannya jangan mangklung ke luar, nanti “nyablak” cagak listrik
‘’Ooo … Yo. Yoo. Maturnuwun, yo, digugah,’’ kata Mbah Yik De.
Sang kondektur dan anak buahnya serta penumpang yang melihat kejadian aneh nan nulayani adat (khoriqul ‘adah) itu pun mesem mesem saja. (H. Hisyam Zamroni, wakil ketua PCNU Kabupaten Jepara, Jawa Tengah)