
BALI,Suaranahdliyin.com – Ketua Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) Dr. dr. Renni Yuniati Sp.D.V.E., Subsp.D.T., FINSDV, FAADV, M.H.mengikuti acara International Leprosy Congress (ILC) Bali 2025 di Bali Nusa Dua Convention Centre. Senin – Selasa (7-8/7/2025).
Dengan kapasitas sebagai seorang pakar dermatologi dan venereologi terkemuka Indonesia, Dr Renni Yuniati diundang menjadi pembicara dalam ILC yang diikuti peserta dari seluruh dunia. Ia mempresentasikan penelitian groundbreaking berjudul “Invisible Scars: The Silent Impact of Leprosy on Indonesian Quality of Life and Strategies for Eradication Through Adaptation”
Mengawali paparannya, dr Renni mengungkapkan Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam penanganan kusta dengan 14.376 kasus baru yang dilaporkan pada tahun 2023 meskipun terjadi penurunan sekitar 445 kasus dibandingkan tahun sebelumnya. Data menunjukkan bahwa Indonesia menyumbang 6% dari total kasus kusta global, dengan distribusi yang tidak merata antara gender – 64,1% kasus terjadi pada laki-laki dan 35,9% pada perempuan.
“Yang lebih mengkhawatirkan, 5% dari kasus baru kusta di Indonesia terjadi pada anak-anak, mengindikasikan adanya transmisi berkelanjutan di kalangan populasi muda. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan edukasi masih perlu ditingkatkan secara signifikan.”ungkapnya
Renni Yuniati menyoroti hasil penelitian yang dilakukan di Sumenep, Indonesia, yang mengungkapkan bahwa kualitas hidup pasien kusta mengalami penurunan signifikan, terutama dalam domain psikologis dan lingkungan. Penelitian ini menjadi landasan penting untuk memahami dampak holistik kusta yang tidak hanya bersifat medis, tetapi juga sosial dan psikologis.
“Kusta bukan hanya penyakit seribu wajah, tetapi juga tentang diskriminasi sosial dan stigma yang mendalam,”ujar Dosen Undip Semarang ini.
“”Alih-alih mendapat dukungan emosional, pasien kusta cenderung dihindari atau diisolasi, padahal kusta dapat disembuhkan sepenuhnya dengan pengobatan yang tersedia.”sambung Renni.
Dr. Renni menjelaskan secara detail bagaimana hilangnya sensasi akibat kusta dapat menyebabkan kondisi serius seperti ulkus, amputasi, dan deformitas pada jari, kaki, dan anggota tubuh lainnya. Kehilangan fungsi tangan atau kaki membuat penderita tidak lagi mampu melakukan tugas-tugas dasar seperti menulis, makan, atau berjalan tanpa bantuan.
“Kehilangan kemandirian ini menyebabkan perasaan frustrasi dan ketidakberdayaan, yang semakin memperburuk beban emosional dan psikologis,” jelas Dr. Renni, menekankan pentingnya pendekatan komprehensif dalam penanganan kusta.
Dr. Renni mengangkat kisah sukses Yordania yang menjadi negara pertama yang menerima verifikasi WHO untuk eliminasi kusta. Strategi Yordania yang melibatkan pemimpin agama dalam edukasi dan pengurangan stigma menjadi inspirasi bagi Indonesia.
“Pemimpin agama seperti imam, kyai, dan pastor dapat memainkan peran kunci dalam meningkatkan kesadaran dan mengurangi stigma seputar kusta dengan berbagi cerita seperti Nabi Ayyub untuk mendorong kasih sayang dan pemahaman,” papar perempuan yang juga CEO Industri Kosmetik Muntira Kosmeditama di Kudus ini..
Kegiatan ILC (International Leprosy Congress) Bali 2025 diselenggarakan KSMHI Perdoski dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bersama Sasakawa Health Foundation.(adb/ros)