Indonesia, Negeri Dermawan Nan Koruptif

0
1077

Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM

Pada 2021, Indonesia dinobatkan sebagai Negara paling dermawan di dunia (Kompas, 18/6/2021). Dalam World Giving Index (WGI) 2021, sekor Indonesia 79 persen, naik dari 59 persen di tahun 2018. WGI 2021 disusun berdasarkan data World View World Pool oleh para peneliti dari Gullap pada 2020 di 114 negara yang dijadikan pedoman.

Kesimpulannya, karena sikap religiositas bangsa Indonesia yang tinggi, buah dari dakwah para ulamanya. Menurut saya, pendapat itu benar adanya. Karena ibadah-ibadah sosial dalam Islam sangat banyak. Antara lain zakat, infak, sedekah, hibah, hadiah, waqaf, memberi piutang, dan waris.

Akan tetapi, kedermawanan di atas, khususnya hadiah dan piutang, sering disalahgunakan oleh seorang “muslim yang licik” dengan hilah syar’iyah. Yaitu orang yang berani menghilah hukum, sehingga beda tipis antara hadiah dan gratifikasi, antara kompensasi bisu dan membayar hutang.

Misalnya, konon, di negeri antah berantah, ada pejabat yang mengangkat bawahannya, lalu berhutang uang kepada yang dia angkat tanpa mengembalikan utangnya, lalu ia merasa telah melunasi utangnya itu.

Tipisnya perbedaan bukan hanya bagi si penerima, juga pada si pemberi. Bagi si pemberi, hadiah tersebut adalah satu hal, dan perkara yang mengikutinya adalah hal yang lain. Ibadah sosial tersebut juga dapat dijadikan wasilah cuci uang. Koruptor yang meraup nilai uang miliaran, serasa break even point alias pas-pasan, serasa sudah lunas membayar dosanya, dengan menghajikan seseorang yang terbujuk. Kebetulan -yang sering terjadi- mereka yang dihajikan juga tidak merasa bersalah, meskipun ia tahu hajinya atas hadiah dari hasil korupsi.

Kemudian money politics. Pejabat yang menghamburkan uang untuk membeli suara, tidak merasa bersalah kalau setelah menjabat, tidak memegang amanah atau melupakan janjinya, karena merasa telah membeli suara. Inikah seluruh akar masalahnya, ketika “negeri muslim” ini menjadi sarang koruptor?

Selama kurun tujuh tahun (2012-2019), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia bisa mencapai sekor 40 dari sekor semula 32. Kemudian meluncur turun ke sekor 37 pada peringkat 102 dari 179 negara. Kita di bawah Cina dengan sekor 42 dalam peringkat 78, Malaysia sekor 57 dengan peringkat 51, dan Timor Leste sekor 40 dengan peringkat 86.

Ada yang berkata, hal itu gara-gara tidak menghukum mati para koruptornya. Tetapi jika dibandingkan antara Cina yang menerapkan hukuman mati koruptor dengan Singapura, Eropa Barat dan lainnya yang tidak mengeksekusi mati karuptornya, ternyata Singapura jauh lebih baik dalam capaian sekor dan peringkatnya.

Kalau dilihat dari keberagamaan, Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Syed Hussein Alatas dalam Sosiologi Korupsi, bahwa korupsi di Indonesia sudah seperti pasien yang sakit komplikasi jantung, paru dan ginjal.

Kalau pasien diumpamakan sakit jantung saja, ibaratnya yang mau korupsi hanya pemangku kursi-kursi basah. Seperti para pejabat utamanya yang memegang policy. Baik dengan mark up proyek, jual beli jabatan, gratifikasi, dan lainnya.

Pengalaman yang terciduk, justru mereka yang sudah kaya. Disinyalir yang tidak tertangkap, jumlahnya tidak sedikit karena keengganan dan keseganan pelapor yang dibungkam. Ada pula calon penglapor yang dipanggil di kantor dinasnya, sehingga mencabut laporannya.

Gambaran untuk pasien yang sakit jantung dan paru, ibarat semua kursi -entah besar kecilnya telah terjadi korupsi. Ibarat pasien yang penyakitnya komplikasi, hampir semua orang telah terlibat dalam korupsi. Mungkin saja ada pengurus zakat, panitia korban, pemangku pondok, pejabat di lembaga keagamaan berkorupsi-ria, karena sistem yang korup.

Jujur, saya bukan Mr. Clean! Tetapi seperti kata imam Syafi’i:

احب الصالحين و لست منهم. Artinya: Aku mencintai orang saleh, meskipun aku bukan termasuk bagian dari orang saleh itu. Wallaahu a’lam bi al-Shawab. (*)

Dr KH Muchotob Hamzah MM,

Penulis adalah Rektor Universitas Sains al-Qur’an (Unsiq) Jawa Tengah di Wonosobo.

 

Comments