Gelar Haji, Bumerang Politikal Enjinering Penjajah

0
771

 Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM

Penjajah dengan para orientalisnya, berbeda pendapat (khilafiyah) terhadap soal haji kaitannya dengan kelestarian penjajahan. Wilfrid Scawen Blunt dalam bukunya “The Future of Islam” (1882) menyatakan, bahwa ibadah yang satu ini dipandang akan mengekalkan pengaruhnya kepada umat.

Dalam pandangannya, selama masih ada empat hal ini (1. The Haj; 2. Khilafah=the modern question of the Caliphate=bentuk-bentuk modern metamorfosa khilafah seperti negara demokrasi berketuhanan-pen dll; 3. The Holly Mecca, and 4. Reformation), Islam tidak bakal bisa dimusnahkan.

Maka politik haji Hindia Belanda=kelak menjadi Indonesia, pada 1825 pemerintah kolonial menerbitkan peraturan calon haji untuk membayar paspor sebesar 110 gulden. Bagi yang melanggar, didenda 1.000 gulden. Satu jumlah yang fantastis pada waktu itu.

Kemudian pada 1859 Belanda menerbitkan ordonansi haji yang mewajibkan izin haji dan melaporkan kepulangannya ke penguasa setempat untuk diuji. Jika lulus ujian, ia boleh menyandang gelar dan pakaian haji, yaitu sorban, peci putih dan atau jubah. Mereka juga diberi sertifikat haji (Rina Farihatul Jannah: 2016).

Dengan hadirnya Snouck Hurgronje, dengan karya doktoralnya berjudul “Het Mekaasche Feest”, ia sedikit memberi hati kepada umat Islam untuk kelonggaran naik haji. Ia berbeda pendapat dengan pendahulunya, Brooshooft, yang ketat terhadap inlander yang naik haji.

Bagi Snouck, yang baku justru mengebiri Islam dalam ranah politik. (Politik/khilafah adalah bagian integral keislaman QS. 2: 30; 2: 208). Hanya saja, belajar dari khulafa’rasyidin dst, bahwa kekhilafahan bukan sistem yang baku dan rigid). Akan tetapi faktual bahwa haji dapat menjadi arena kordinasi dan tersebarnya ideologi politik.

Maka, dalam proposalnya, Snouck mengajukan tiga tesis. Salah satunya bahwa pemerintah Hindia Belanda tidak perlu mencemaskan pengaruh Turki Utsmani terhadap umat Islam yang berhaji di Nusantara. Karena di Timur Tengah sendiri, mereka bersaing satu sama lain.

Kemudian gelar haji oleh Belanda dan ditiru oleh kolonialis lain, adalah untuk mengidentifikasi target kecurigaan sekaligus mengambil hati. Ini berdasarkan pengamatan bahwa haji waktu itu dilakukan oleh orang-orang khash. Umumnya, haji dilakukan selain oleh orang alim, mampu secara ekonomi, mereka memiliki pengaruh dan sekaligus potensial menjadi politikus yang membahayakan kolonialis.

Terbukti, interaksi selama haji, melahirkan militansi dengan ilmu mumpuni, semangat perjuangan yang membara, maka mereka didorong mau menyandang gelar haji untuk intrik tersebut di atas. Kita tahu bagaimana pengaruh kitab jihad untuk memerangi penjajah karya Syaikh Abdus-Samad al-Palimbani “Nashihah al-Muslimin wa Tadzkirah al-Mu’minin fi Fada’il Jihadi fi Sabil Allahi wa Karamah al-Mujahidin” dan lainnya yang dibawa pulang para haji. Api perjuangan kemerdekaan menginspirasi rakyat yang membuat Belanda kewalahan.

Betapa banyak haji-haji Nusantara yang alim allamah, kemudian menggerakkan jihad mengusir penjajah. Sepulang dari haji,
Sultan Ageng Tiryoyoso (1626-1656) menjadi gerilyawan antipenjajah yang berkelindan dengan ulama besar, yakni Syaikh Yusuf dari Makasar, dan masih banyak lagi lainnya.

Gelar haji yang pada mulanya untuk mengidentifikasi dan menglegitimasi sebagai politikal enjinering penjajah Belanda, justru menjadi bumerang. Karena oleh umat Islam di Nusantara, ia dijadikan sebentuk apresiasi dan motivasi bagi para haji untuk memantaskan diri.

Memang di zaman Rasulullah, gelar apresiasi ibadah mahdhah seperti salat, zakat, shiyam dan haji tidak lakukan. Namun terkadang dilekatkan pada kelompok orang seperti Muhajirin, Anshar, atau individu seperti As-Shidiq (Abu Bakar), Al-Faruq (Umar Bin Khatthab), Zunnurain (Utsman Bin Affan), Babul Ilmi (Ali Bin Abi Thalib) saifullah (Khalid Bin Walid) dan lain sebagainya. Wallaahu a’lam. (*)

Dr KH Muchotob Hamzah MM,

Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.

Comments