Eliminasi Radikalisme Beragama, Mungkinkah?

0
866

Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM

Radikalisme (radikaliyah) selalu disandingkan dengan tahririyah (liberalisme) dan wasathiyah (moderatisme). Radikalisme juga sering dibicarakan dengan gerakan yang mengidolakan terorisme (irhabiyah).

Meskipun ada keberbedaan antara radikalisme dan terorisme, namun keduanya sering berjalin berkelindan. Radikalisme sangat berpeluang menuju terorisme. Mirip dalil kita orang awam yang menggunakan “ilmu titen” ala masyarakat Jawa: Celana cingkrang tidak mesti teroris. Tetapi teroris selalu bercelana cingkrang”.

Radikalisne biasanya menganggap orang lain di luar pahamnya adalah kafir. Kalau kafir, maka halal darah dan hartanya, bahkan isterinya.

Ia sering diidentikkan dengan kekerasan. Embrio radikalisme telah lahir sejak Nabi Adam dan keluarganya (Qabil). Pada dasarnya pikiran dan sikap radikal adalah senjata pertahanan diri dari sesuatu yang dianggap ancaman oleh diri seseorang baik individual maupun kolektif. Demikian juga irhabiyah (QS.8: 60).

Sayangnya, penilaian terhadap apa yang disebut ancaman itu sering sangat subyektif. Ada orang yang mendengar kata “Selamat Pagi, Pak” saja sudah jengah dan merasa terancam. “Achh…itu tidak Islam!” Katanya. Ini ancaman bagi budaya Islami!

Ada orang lain yang memaklumi dan lega hatinya (legawa) meskipun sebenarnya ia lebih suka jika diucapkan kepadanya “Assalaamu ‘alaikum…” misalnya (QS.24: 27). Orang yang kedua ini bukan karena lemah iman, akan tetapi bisa jadi ia melihat banyak peluang untuk bisa membenahinya tanpa terkejut-kejut.

Contoh lain: mendengar pencuri dihukum penjara dan bukan potong tangan, ia langsung komentar. “Itu sich hukum thaghut”. Padahal hukum dalam Islam sangat rasional. Semisal “yunfaw min al-ardh” (QS. 5: 33). Pernahkah kita baca hadis sahih tentang perlakuan hukuman bagi Sulaiman Bin Sakhra yang bersetubuh dengan isterinya ketika siang saat Ramadan oleh Nabi?

Coba diingat-ingat. Dia harusnya memerdekakan budak. Karena ia tidak mampu, diperintah shiyam (puasa) 40 hari berturut-turut. Karena tidak mampu lagi, ia diperintah memberikan makan 60 orang miskin (Bukhari 1936; Muslim 1111).

Mengapa berbeda persepsi hukum? Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh tiga hal. Yaitu Nash (teks al-Quran dan sunnah dengan penguasaan keilmuan tafsirnya), Maz’ah (kecenderungan khas dirinya oleh faktor intrinsik dan ekstrensik), serta bi’ah (lingkungan). Tiga hal ini akan sangat memengaruhi pola pikir dan sikap dalam implementasinya.

Oleh karena itu, pola pikir radikal akan selalu ada dengan tingkatan yang berbeda pada tiap individu maupun kolektif. Keberadaan pola pikir ini cukup merisaukan banyak orang. Nilai positifnya, adalah untuk kritik pada liberalisme keberagamaan yang kebablasan. Tetapi negatifnya bisa sangat fatal, yaitu ketidaksukaannya pada eksistensi manusia lain. Jadi setiap muslim mesti cerdas memilah dan memilih jalan keselamatan (wasathiyah=QS. 2: 143).

Secara empirik, terbukti ISIS dan kawan-kawannya menunjukkan, betapa atas nama agama pembunuhan dibenarkan, pemerkosaan dipandang jihad nikah. Perampasan harta, tanah air dan lainnua dianggap ghanimah dan fai’. Wajah Islam (damai=salmun, silmun dan salamah) hilang ditelan wajah sangar. Betul al-Quran ada ayat damai dan ayat perang, dan jumhur ulama’ berkesimpulan bahwa Islam secara leksikal berarti “damai”. Untuk itu, setiap langkah kehidupan kita, hendaklah selalu mendahulukan kedamaian.

Profesor David Cortright, menyatakan, bahwa watak dasar Islam adalah damai. Diriwayatkan dalam hadits sahih, doa seorang muslim setiap bakda salat adalah: “Ya Allah Engkau Yang Maha Damai. Dari Engkaulah datangnya kedamaian. Kepada-Mulah kembalinya kedamaian. Hidupkanlah kami dalam kedamaian. Dan masukkanlah kami ke kampung kedamaian (surga).

Ada jalan mana lagi untuk mempromosikan Islam yang radikal, bila hal itu sudah menjauh dari nomenklatur Islam itu sendiri, dan nama indah bagi Allah, As-Salaam? Wallaahu a’lam. (*)

Dr KH Muchotob Hamzah MM,

Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.

Comments